Kisah Seniman Topeng Banjet di Karawang, Jatuh Cinta kepada Sinden dan Jadi Primadona, Kini Mengamen

Berawal dari perkenalan dengan seorang sinden di topeng banjet di Karawang, Apih Dani memulai ketertarikan untuk menerjuni seni tersebut.

Penulis: Cikwan Suwandi | Editor: Darajat Arianto
TRIBUNJABAR.ID/CIKWAN SUWANDI
Berawal dari perkenalan dengan seorang sinden di topeng banjet di Karawang, Apih Dani memulai ketertarikan untuk menerjuni seni tersebut hingga sekarang. Namun kini seni tersebut tak setenar dulu yang banyak panggilan manggung, kini ia harus mengamen. 

Laporan Kontributor Tribunjabar.id, Karawang, Cikwan Suwandi

TRIBUNJABAR.ID,KARAWANG - Apih Dani ketika itu masih berusia muda.

Topeng banjet menjadi hiburan paling dicari warga saat tahun 1990an.

Untuk mencari info hiburan topeng banjet, tak hanya melalui mulut ke mulut.

Pria berusia 63 tahun ini bahkan melakukan pendeteksian melalui sela-sela tanah pesawahan yang kering.

"Kalau mencari topeng banjet itu saya dengan teman-teman sampai mendengarkan di sela tanah sawah. Ada di arah utara, ya kami susul ke sana. Ada sepuluh orang, bareng-bareng ke sana. Nanti pulang pagi, " kata Apih Dani kepada Tribunjabar.id, Kamis (29/9/2022).

Berawal dari perkenalan dengan seorang sinden di topeng banjet, Apih Dani memulai ketertarikan untuk menerjuni seni tersebut.

Ia pun terus melacak keberadaan grup topeng banjet dari seorang sinden yang ia kagumi. Kemana pun grup itu pergi, Apih Dani selalu ikut.

Di Tahun 1997 ia mulai serius untuk menjadi pemain dalam topeng banjet.

Baca juga: Melalui Wagub, Pemuda Yatim Piatu Pelestari Seni Kuda Lumping di Pangandaran Mendapat Bantuan

Setelah sinden berhasil ia nikahi, Apih Dani mulai berpikir untuk membuat grup sendiri.

Tepatnya di Tahun 2002, Apih Dani membentuk grup dengan nama Gentra Asih.

Dari Primadona Hingga Tersisih Jadi Pengamen

Di tahun itu ia merasakan topeng banjet begitu primadona, dalam satu bulan ada 20 kali panggilan manggung hajat pernikahan dan hajat bumi.

Setiap kali manggung, ratusan pasang mata menontonnya. Mereka sudah menunggu dari Pukul 21.00 WIB hingga bertahan sampai bubar hingga Pukul 05.00 WIB.

"Kalau dulu, saya bisa 20 kali manggung dalam sebulan. Penonton banyak, mereka sampai bubar jam 5 pagi, " ujarnya.

Untuk tarif pementasan, kata Apih Dani, Rp 5 juta tiap pentas. Itu yang megah.

Namun sekarang, Apih Dani akui topeng banjet tidak sepopuler dulu. Saat ini ia hanya bisa manggung panggilan dua kali.

Baca juga: Sosok Mia Ismi, Seniman Multitalenta, Jajal Seni Teater Hingga Rilis Single

Untuk bertahan hidup, mereka akui harus berkeliling mengamen dari kampung ke kampung.

Ia membawa gerobak dengan motornya. Di dalamnya sudah berisi goong, gendang, dan kenong serta sound system.

Sekali ngamen ia mendapatkan rata-rata penghasil Rp 200 ribu sampai Rp 300 ribu.

Kemudian dibagikan kepada tim yang beranggotakan 20 orang.

Tim tersebut dibagi dua, yakni tim inti selaku penari, aktor dan pemusik.

Sebelum manggung yang dimulai pada pukul 19.30 WIB, mereka mencari sumbangan ke rumah warga sekitar.

"Jadi kalau tim inti itu ada honornya, biasanya dapat 25 ribu dan kalau tim lainnya itu dia dapat pembagian dari upah sumbangan biasanya dapat 20 ribu,” kata dia.

Apih Dani dan timnya mulai berangkat dari jam 11 siang dari tempat tinggalnya di Telagasari.

Saat berada di kampung yang dipilih, tim Apih Dani lalu berkoordinasi dengan RT setempat, meminta izin pentas.

Setelah diizinkan ia lalu menyiapkan segala peralatan pentas.

Baca juga: Lewat Seni Tari Layar Sauh, ISBI Bandung Suarakan Gejolak Kehidupan Masyarakat Maritim

"Kadang-kadang sampai Subang," ujar dia.

Meski penghasilan dari pentas tak seberapa, Apih mengaku tetap senang dan bahagia sebagai pelaku topeng banjet.

“Karena senang dan memang ingin mempromosikan topeng banjet, jadi disyukuri aja meski dapat pendapatan cuma cukup untuk beli bensin,” katanya. (*)

Sumber: Tribun Jabar
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved