Bukan untuk Jurig, Ini Makna Kambing Hitam dan Sesajen Dalam Nadar di Gunung Batu Lembang
Sambil mengucapkan doa-doa dalam bahasa Sunda, Abah Ujang menaburkan kemenyan di parukuyan. Asap pun muncul hingga aroma semerbak kemenyan tercium.
Penulis: Putri Puspita Nilawati | Editor: Tarsisius Sutomonaio
Laporan Wartawan Tribun Jabar, Putri Puspita
TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG- Warga Kampung Buni Asih berdatangan ke puncak Gunung Batu Lembang. Mereka sempat mengarak kambing hitam berkeliling kampung, diiringi tetabuhan. Itu adalah bagian dari upacara nadar/tumbalan.
Nadar merupakan upacara rutin masyarakat Kampung Buni Asih yang bertujuan sebagai permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar diberi keselamatan, kesejahteraan, dan kesehatan.
Doa itu bukan hanya untuk manusia, melainkan juga untuk tumbuhan dan seluruh tatanan kehidupan yang ada di sekitar kawasan situs Gunung Batu Lembang.
Dalam upacara ritual nadar atau tumbalan ini, warga menyiapkan kambing hitam dengan sesajen.
Abah Ujang, Kuncen Gunung Batu Lembang, duduk bersila di hadapan sebuah mangkuk besar terbuat dari tanah liat yang berisi arang atau parukuyan dalam bahasa Sunda.
Sambil mengucapkan doa-doa dalam bahasa Sunda, Abah Ujang menaburkan kemenyan di parukuyan. Asap pun muncul hingga aroma semerbak kemenyan tercium.
Baca juga: Selama Libur Panjang Pekan Ini, Ribuan Wisatawan Kunjungi TGGA Lembang
Ia mengatakan tujuan utama dari ritual tumbalan ini adalah menjaga warga dari bencana alam, khususnya ancaman gempa sesar Lembang dan sebagai media tolak bala.
Masyarakat Buni Asih meyakini situs Gunung Batu, titik kelima pada patahan Sesar Lembang, adalah satu di antara paku bumi di antara titik-titik patahan Sesar Lembang.
"Lokasi ini adalah pecahan Sesar Lembang dan berdoa bersama ini akan memperkuat keadaan. Ini papaes kesenian, tetapi tujuannya mengenalkan kembali nilai-nilai kearifan lokal daerah sini," ujarnya saat ditemui di sela acara, Jumat (1/4/2022).
Pembahasan soal sesajen sempat ramai pada awal Januari 2022 menyusul viralnya video sesajen di Gunung Semeru yang diobrak-abrik oleh pria berinisial HF.
Dalam video tersebut, HF menyebutkan adanya sesajen membuat Allah murka.
“ Jarang sekali disadari, bahwa inilah yang justru mengundang murka Allah hingga Allah menurunkan azabnya," ujarnya sambil menendang sesajen.
Aksi HF membuat geger dan penuh dengan pro dan kontra karena dianggap tidak menghormati tradisi daerah tersebut.
Dalam unggahan video TikTok, para pendaki pun seringkali membagikan video menemukan sesajen dalam perjalanan. Pengguna akun @igo_sagara, misalnya, mengaku menemukan sesajen di Gunung Salak.
Baca juga: Sesajen Kepala Kambing dan Bunga Tujuh Rupa Untuk Bupati, Massa Tolak Tambang di Karawang Selatan
Dalam video tersebut, sesajen berisi bunga, pisang, air dalam kendi, kopi hitam, dan telur terlihat tersimpan di semak-semak tanaman.
“Ini sama seperti yang viral di Gunung Semeru menemukan sesajen, tetapi diacak-acak. Sesajen ini padahal kepercayaan Indonesia karena budayanya beragam. Jadi kita tinggalkan saja, kita tidak boleh merusaknya,” ucap pemilik akun tersebut.
Apa yang ditemukan Igo menimbulkan komentar yang beragam, ada yang menanggapi positif dengan saling menghormati, ada pula yang menganggapnya sebagai hal yang negatif dan berharap pemilik sesajen mendapatkan hidayah dari Tuhan.
Kembali ke upacara nadar. Acara syukuran ini mulai dari ngaleunggeuh lisung, ngaguyang lalu mucuk embe, ngarak embe, nadar atau tumbalan, soderan hajat lembur. Rangkaian itu diakhiri gembrong tumpeng dan soderan ibing Ketuk Tilu.
Hal yang menarik dari ritual ini adalah bagain kepala, kaki, dan kulit kambing hitam dibungkus menggunakan kain kafan lalu dikuburkan di pinggir situs Batu Bangkong.
Sejumlah rempah-rempah, bumbu dapur, dan sebagian hasil bumi juga dikuburkan di lubang yang sama.
Menurut Abah Ujang, ritual pemotongan kambing hitam yang dijadikan tumbal ini bukanlah sebuah pemujaan.
"Pemotongan ini hanya sebagai simbol untuk membunuh sifat-sifat binatang dalam diri manusia. Jadi bukan untuk jurig (hantu). Isi pikiran yang positif dan negatif itu adanya di kepala dan kaki untuk melangkah," ujarnya.
Baca juga: Penendang Sesajen di Gunung Semeru Dijadikan Tersangka, Ini Motif Melakukannya
Kegiatan sesajen seperti ini memang jarang terlihat di daerah perkotaan. Hal ini pun membuat mahasiswa di salah satu Universitas di Jalan Lengkong, Syifa (20), ngeri melihatnya.
Ia pertama kali mencium aroma kemenyan, melihat pemotongan kambing hitam, dan sesajen di samping batu.
"Aku pernah melihat sajen di Bali dan waktu liburan ke Thailand, tapi nggak pernah tahu buat apa dan nggak pernah nyari tahu juga," ujar Syifa.
Ketika melihat hal seperti itu, Syifa lantas meyakinkan dirinya untuk tetap fokus supaya tidak 'kerasukan hantu'.
"Nggak tahu kenapa ya, tiba-tiba langsung takut saja ada yang masuk ke dalam tubuh aku. Bisa juga aroma kemenyan ini memberikan aku sugesti yang membuat pikiran jadi ke arah sana meskipun tidak terjadi apa-apa," kata Syifa.
Budaya kemenyan dan sesajen tidak pernah menjadi bahan perbincangan Syifa di kalangan teman-temanya. Ia justru mempertanyakan apakah sesajen ini adalah ritual dari aliran kepercayaan lain.
"Nggak ada obrolan soal budaya atau sesajen di lingkungan aku. Paling yang pernah sempat jadi obrolan itu pawang hujan yang viral dan Sunda Empire," kata Syifa sambil tertawa.
Baca juga: Warga Simpan Sesajen, Minta Agar Tanggul Sungai Cipanas di Losarang Indramayu Gak Jebol Lagi
Anggapan Menyesatkan
Ketekunan memelihara adat istiadat leluhur juga dipraktikkan oleh Abah Enjum, pendiri Padepokan Bumi Ageung Saketi di Cibiru, Kota Bandung.
Secara konsisten padepokannya menggelar ritual tilem bulan (bulan mati) dan purnama. Dalam ritual tersebut, disiapkan juga sesajen.
Sejak 2016, Abah Enjum membangun Padepokan Bumi Ageung Saketi dengan tujuan untuk terus menerapkan adat istiadat dan tradisi Sunda yang kian lama tidak diketahui masyarakat.

Apa yang ia lakukan tidak sepenuhnya diterima masyarakat sekitar, tetapi ia merasa tidak pernah mengganggu keyakinan mana pun.
"Banyak anggapan, saya menyebarkan ajaran yang menyesatkan. Bagian mana menyesatkannya? Saya selalu membuka diri kepada siapa pun. Silakan datang, ayo kita diskusi," ujar Abah Enjum saat ditemui di kediamannya, Sabtu (9/4/2022).
Abah Enjum mengatakan serangan muncul di media sosial. Padahal, ucapnya, serangan itu bersumber dari ketidaksukaan akan apa yang ia lakukan.
Banyak warganet yang mengajaknya berdebat soal sesajen yang disebut-sebut musyrik. Padahal menurutnya, anggapan tersebut muncul karena ketidaktahuan akan sejarah yang dihidupi leluhur bangsanya.
Di Bumi Ageung Saketi justru cukup banyak orang dari berbagai keyakinan yang datang kepadanya.
"Di sini (kami) berdoa Bhineka Tunggal Ika. Ada Hindu, Kristen, Wiwitan, dan masih banyak lagi, dan semuanya saling menghormati," ujarnya.
Abah Enjum menyebut banyak kalangan yang tidak menyukai pembahasan sesajen dan menimbulkan banyak masalah.
Padahal, ucapnya, dalam sesajan terdapat pesan-pesan moral yang memiliki makna sebagai rasa syukur terhadap alam karena alam sudah memberikan segalanya.
Melalui Bumi Ageung Saketi, Abah Enjum ingin meneruskan tradisi leluhur. Ia berharap masyarakat tak langsung menghakimi tanpa mengetahu maksud dan tujuan sesajen.
Liputan ini menjadi bagian dari program training dan hibah Story Grant: Mengembangkan Ruang Aman Keberagaman di Media oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) yang terlaksana atas dukungan International Media Support (IMS)