Rebut Lagi Afghanistan,Taliban Kuasai Tambang dan Mineral Rp 42 Ribu Triliun
Kelompok Taliban yang merebut kekuasaan pemerintahan Afghanistan memikul tanggung jawab untuk mengelola kekayaan mineral tambang di negaranya.
TRIBUNJABAR.ID- Kelompok Taliban yang merebut kekuasaan pemerintahan Afghanistan memikul tanggung jawab untuk mengelola kekayaan tambang da mineral di negaranya.
Kekayaan tambang dan mineral di Afghanistan jumlahnya tidak main-main. Survey Geologi Amerika Serikat pada 2010 menyebutk bahwa Afghanistan memiliki kekayaan tambang dan mineral hampir 1 triliun USD atau Rp 14 triliun mengacu pada harga USD Rp 14 ribu.
Kekayaan tambang dan mineral itu meliputi bijih besi, tembaga, lithium, kobalt hingga logam langka. Namun, meski dengan kondisi potensial itu, Afghanistan masuk jadi salah satu negara termiskin di dunia.
Di sisi lain, Taliban yang pernah memimpin pada 1996 yang akhirnya digulingkan Amerika Serikat pada 2001 karena diduga melindungi Osama bin Laden, dilansir dari DW, justru mendapat duit dari ladang opium hinga heroin.
Amerika Serikat sudah bercokol di Afghanistan sejak 2001 saat memburu Osama bin Laden, pihak yang bertanggung jawab dalam peristiwa 9/11 di Amerika Serikat. 20 tahun berada disana, saat ini Amerika Serikat memilih pulang dan Taliban kembali merebut kekuasaan.
Dalam 2 dekade terakhir, saat Amerika Serikat bercokol disana, kekayaan sumber daya alam tambang mineral itu tak tersentuh. Yang ada, warganya terjebak dalam konflik.
Baca juga: Perempuan Penyanyi Top Afghanistan Ikut Melarikan Diri, Sebut Pembunuh Dia Akan Masuk Surga
Padahal di sisi lain, kekayaan tambang dan mineral Afghanistan itu sedang dibutuhkan dunia industri di semua negara untuk energi terbarukan.
Misalnya saja lithium yang dibutuhkan sebagai bahan baku memproduksi berbagai produk teknologi non fosil seperti panel surya hingga kendaraan listrik.
Pemerintah Afghanistan sempat menindaknjati soal kandungan mineral di negaranya pada 2017. Dalam laporannya, mereka memperkirakan kekayaan tambang mineral baru di negara itu mencapai 3 triliun USD atau Rp 43 triliun termasuk bahan bakar fosil.
Anda tahu lithiun, itu sering digunakan dalam berbagai peralatan elektronik seperti ponsel, kamera, laptop bahkan mobil listrik sebagai batere.
Bahan baku peralatan itu ada di Afghanistan. Kebutuhannya per tahun sebesar 20 persen dibandingkan dengan beberapa tahun yang lalu yang berkisar 5-6 persen.
Dalam sebuah memo dari Pentagon menyebutkan, bahwa deposit lithium di Afghanistan bisa menyamai Bolivia yang selama ini dinobatkan sebagai produsen lithium terbesar dunia.
Harga tembaga juga mendapat keuntungan dari pemulihan ekonomi global pasca-Covid-19 dengan naik 43 persen dibandingkan pada tahun lalu.
Baca juga: Buruh Pabrik di Purwakarta Bakal Pakai Aplikasi Ini Setiap Masuk Kerja, Bisa Ketahuan dari Zona Apa
Posisi China dan Rusia Terkait Afghanistan
China dan Rusia disebut-sebut sebagai negara yang memungkinkan bekerja sama dengan Taliban yang akan memimpin Afghanistan.
Sebagai negara industri maju, China butuh bersahabat dengan Afghanistan karena memiliki kekayaan tambang dan mineral yang dibutuhkan industri China.
Bahkan sejauh ini, Beijing sudah menjadi investor asing terbesar di Afghanistan. Setelah negara itu dikuasai Taliban, China tampaknya akan memimpin investasi asing di sana.
“Kontrol Taliban datang pada saat ada krisis pasokan untuk mineral ini di masa mendatang dan China membutuhkannya. China sudah dalam posisi di Afghanistan untuk menambang mineral ini," kata Michael Tanchum, seorang pakar senior d dari Austrian Institute for European and Security Policy.
Metallurgical Corporation of China, korporasi tambang di Asia, punya konsesi 30 tahun menambang tembaga di Provinsi Logar yang tandus di Afghanistan.
Dikutip dari CNN, Rod Schoover, seorang Ilmuan dari Ecological Futures Grou mengatakan, dari letak geografisnya, Afghanistan sudah tentu kaya akan mineral tambang.
"Afghanistan tentu saja merupakan salah satu daerah yang kaya akan logam mulia, tetapi juga logam yang diperlukan untuk memenuhi ekonomi yang muncul di abad ke-21," kata dia.
Tantangan keamanan, plus kurangnya infrastruktur dan kekeringan parah telah mencegah penambangan mineral besar-besaran di Afghanistan.
Pada tahun 2020, diperkirakan 90 persen orang Afghanistan hidup di bawah tingkat kemiskinan berdasarkan standar pemerintah yakni pendapatannya hanya sekitar 2 dollar AS per hari, merujuk pada laporan dari US Congressional Research Service yang diterbitkan pada bulan Juni 2021.
Dalam profil negara yang dirilis Bank Dunia juga menyebutkan bahwa ekonomi Afghanistan masih rapuh dan sangat bergantung pada berbagai bantuan asing.
"Pengembangan dan diversifikasi sektor swasta dibatasi oleh ketidakamanan, ketidakstabilan politik, institusi yang lemah, infrastruktur yang tidak memadai, korupsi yang meluas, dan lingkungan bisnis yang sulit," tulis Bank Dunia.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Taliban, Penguasa Baru Kekayaan Tambang Rp 14.000 Triliun di Afghanistan", Klik untuk baca: