Informasi Penting untuk Pasien Isoman, Saturasi Oksigen di Bawah 94, Harus Langsung ke Rumah Sakit

Jika saturasi oksigen di bawah 94, pasien isolasi mandiri harus dibawa ke rumah sakit.

Editor: taufik ismail
KOLASE TRIBUN JABAR
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin. 

TRIBUNJABAR.ID, JAKARTA - Pasien Covid-19 yang menjalani isolasi mandiri di rumah diminta terus memantau saturasi oksigen dalam tubuhnya.

Apabila setelah pengecekan hasilnya di bawah 94 persen wajib segera ke rumah sakit.

"Begitu (saturasi oksigen) di bawah 94 persen, jangan tunggu lebih lama, langsung ke puskesmas, langsung ke dokter, atau langsung pindah ke isolasi terpusat," kata Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dalam konferensi pers yang ditayangkan YouTube Sekretariat Presiden, Senin (2/8/2021).

Saat ini, kata Menkes, banyak orang yang belum memahami pentingnya indikator saturasi oksigen dalam tubuh. Belakangan, banyak yang masuk rumah sakit dengan saturasi 90-93 persen. Bahkan, tak jarang pasien ke rumah sakit dengan saturasi 70-80 persen.

"Itu telat sekali. Artinya virusnya sudah menyebar ke dalam paru dan sudah sesak," ujar Budi.

Akibat keterlambatan itulah angka kematian pasien Covid-19 meningkat.

Dahulu, pasien yang masuk ke rumah sakit rata-rata meninggal di hari kedelapan.

Namun, beberapa waktu terakhir, banyak yang tutup usia ketika menjalani perawatan di RS 3-4 hari. Tak hanya itu, dulu angka kematian pasien umumnya terjadi di ruang ICU.

Namun, kini angka kematian di IGD meningkat dari 1-2 persen menjadi 20 persen.

Padahal, kata Budi, angka kematian pasien Covid lebih rendah daripada TBC dan HIV. Apabila dirawat dengan cepat, besar harapan untuk sembuh.

"Enggak usah malu, enggak usah khawatir kalau kena, yang penting lapor saja. Cepat-cepat tes, enggak usah takut dites. Begitu kita tahu, bisa kita tangani," kata Budi.

Menkes mengatakan, ada dua faktor utama yang mendorong melonjaknya Covid-19 di Tanah Air.

Faktor yang pertama adalah sikap disiplin dalam menerapkan protokol kesehatan, yakni memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak, mengurangi mobilitas, dan menjauhi kerumunan (5M).

"Kalau kita disiplin protokol kesehatan, pakai maskernya benar dan rajin, jaga jaraknya benar, kerumunannya dihindari, itu adalah resep yang paling jitu," kata Budi.

Budi mengatakan, menerapkan protokol kesehatan itu sebenarnya sangat mudah, namun selalu dianggap sulit  karena masyarakat belum terbiasa.

"Kalau dilakukan, itu adalah hal yang paling mudah dan paling besar dampaknya untuk mengurangi penularan dan melindungi keluarga kita supaya nggak ke rumah sakit," ujar Budi.

Faktor kedua yang mendorong peningkatan kasus baru adalah munculnya varian B.1.617.2 (Delta), yang diketahui lebih mudah dan cepat menular.

Varian yang pertama kali ditemukan di India ini dua hingga tiga kali lipat lebih cepat menular dari varian Alpha, dan lima hingga enam kali lipat lebih mudah menular dibandingkan varian awal yang ditemukan di Wuhan, Cina.

Terkait varian Delta, Kepala Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman, Amin Soebandrio, mengatakan, saat ini varian baru, yakni varian Delta Plus sudah masuk ke Indonesia. Namun, ia memastikan, baru ada satu kasus yang terdeteksi di Mamuju, Sulawesi Barat.

Pernyataan ini sekaligus mengoreksi pengumuman sebelumnya yang menyatakan bahwa varian Delta Plus telah ditemukan tiga kasus, yaitu satu di Mamuju dan dua kasus di Jambi.

"Pada hari ini ada perubahan berdasarkan kajian molekuler lebih dalam, ternyata Delta Plus itu baru satu, yaitu yang di Mamuju," ujar Amin saat dikonfirmasi Senin (2/8/2021).

"Ternyata yang di Jambi itu harus dikoreksi bukan varian Delta Plus tapi ke kelompoknya varian lokal Indonesia yang B1466.2," ujarnya, kemarin.

Amin, yang juga Guru Besar Ilmu Mikrobiologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), menyebut varian Delta Plus adalah turunan dari varian Delta.

Namun saat disinggung apakah sifat varian Delta Plus lebih mengkhawatirkan daripada varian Delta, pihaknya belum bisa memberikan bukti yang cukup kuat.

"Sejauhnya ini kami belum punya bukti yang cukup kuat. Jumlahnya masih sangat sedikit. Untuk varian Delta pengamatan kasus-kasus yang ada belum secara ilmiah, belum mendukung apakah menyebabkan gejala lebih berat karena kita lihat yang terinfeki varian Delta tidak semua berat. Pasien-pasien gejala berat tidak semua terinfeksi varian Delta. Jadi belum ada hubungan yang kuat," ujar Amin. (tribun network/fit/gtarin/sam/wly)

Baca juga: Bupati Pangandaran Minta Jika Bergejala Covid Langsung ke Rumah Sakit Agar Tak Terlambat Penanganan

Sumber: Tribun Jabar
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved