Sembako yang Dipungut Pajak adalah Sembako Kelas atas Seperti Beras Shirataki yang Rp 200 Ribu/Kg

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, komoditas sembako yang akan kena pajak di antaranya beras jenis shirataki.

Editor: Ravianto
shopee
Beras shirataki yang dijual di toko online shopee. Beras seperti ini yang menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani yang akan dikenakan pajak sembako 

TRIBUNJABAR.ID, JAKARTA - Kementerian Keuangan menyatakan, tidak akan memungut PPN sembako untuk masyarakat kelas bawah terkait Rancangan Undang-undang (RUU) Perubahan Kelima Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, komoditas sembako yang akan kena pajak di antaranya beras jenis shirataki.

"Namun, kalau kita ngomongin sembako tuh katakanlah beras, ada beras yang Rp 10.000 per kg nya, yang produksi petani kita, Rojolele, Pandan Wangi, Cianjur begitu versus beras yang sekarang ini Shirataki."

"Jadi, kalau dilihat harganya Rp 10 ribu per kg sampai Rp 50 ribu per kg sampai Rp 200 ribu per kg bisa sama-sama klaim ini sembako," ujarnya di rapat Komisi XI DPR, Senin (14/6/2021).

Sri Mulyani menjelaskan, fenomena munculnya produk-produk kelas atas tapi namanya tetap sembako dan sama-sama beras harus disikapi pemerintah dari sisi perpajakan.

Selain itu, juga ada beberapa jenis daging premium dengan harga mahal akan kena pajak, bukan justru yang ada di pasar tradisional.

"Sama-sama daging sapi namanya, tapi ada daging sapi wagyu yang kobe, per kg bisa Rp 3 juta atau Rp 5 juta. Ada daging biasa yang dikonsumsi masyarakat per kg Rp 90 ribu, ini bumi dan langit," katanya.

Karena itu, eks direktur pelaksana Bank Dunia tersebut menambahkan, instrumen perpajakan dalam RUU KUP mencoba dorong kesetaraan.

Untuk sembako murah lanjut Menkeu akan disiapkan fasilitas pembebasan atau ditanggung pemerintah.

Sehingga sama sekali tidak dipungut pajak.

"Kalau dia menjadi objek bisa dipajaki, tapi dibebaskan pajaknya. DTP, bisa tarif 0, versus yang tarifnya lebih tinggi. Itu disampaikan di dalam PPN bisa multitarif," terangnya.

Menurut Sri Mulyani, klasifikasi ini tentu akan dibahas lebih lanjut bersama DPR RI untuk dituangkan ke dalam UU KUP.

Namun tujuan akhirnya adalah menciptakan keadilan untuk semua masyarakat. "Jadi kita akan melihat pajak mencoba address isu keadilan," ujar Menkeu.

Diketahui, barang sembako yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor 116/PMK.010/2017 meliputi beras dan gabah, jagung, sagu, kedelai, garam konsumsi, daging, telur, susu, buah-buahan, sayur-sayuran, ubi-ubian, bumbu-bumbuan dan gula konsumsi.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu, Neilmaldrin Noor menjelaskan saat ini terdapat rentang harga yang sangat besar antara barang sembako biasa dengan barang sembako yang bersifat premium.

"Kita tahu semua bahwa rentang harga dari barang-barang tersebut seperti beras ataupun daging itu bisa berbeda sangat jauh, rentang harganya sangat lebar sehingga ketika terjadi pengecualian fasilitas maka semuanya ini tidak dikenai PPN. Seperti ini yang ingin kita jadikan tujuan pemajakannya lebih efisien," ujarnya.

Ia menegaskan bahwa untuk produk sembako yang dijual di pasar tradisional tidak akan dikenakan PPN.

Pemajakan hanya untuk sembako premium yang dibeli oleh masyarakat mampu.

"Tentunya nanti akan ada pembeda barang atau jasa yang dikonsumsi masyarakat sesuai dengan ability to pay nya," ujarnya.

Neilmaldrin juga menyatakan, narasi 'mengadu' insentif PPnBM untuk kendaraan bermotor 0 persen dan wacana sembako akan kena PPN bukan soal pemihakan status kaya atau miskin.

Kebijakan relaksasi PPnBM lebih karena pertimbangan dari sisi perekonomian. "Jadi, bukan masalah kaya-miskin, atas-bawah yang diberikan, tapi perhitungan ekonomi," ujarnya.

Menurut dia, jika menggunakan logika akal sehat bahwa insentif PPnBM berjenjang mulai 0 persen ini jangan dilihat siapa yang beli.

Namun, pertimbangan pemerintah adalah membaca berdasarkan data bahwa saat pandemi, golongan tertentu di masyarakat senang menyimpan uangnya.

Neilmaldrin menjelaskan, uang yang yidak dibelanjakan tersebut kemudian akan berdampak ke produsen di sektor-sektor tertentu.

"Satu di antara yang proporsi sektor penunjangnya besar adalah industri otomotif. Kalau dibiarkan tidak ada pembelian, penjualan menurun, pengusaha kolaps akan berdampak akhirnya ke masyarakat pada umumnya yakni kelas menengah yang jadi karyawan," katanya.

Dia menilai akan terdapat ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran jika sektor itu tidak mendapatkan bantuan pemerintah.

"Berapa orang yang akan di PHK? Yang selama ini menopang industri otomotif dan penunjangnya. Banyak yang bekerja di sektor penunjang tersebut, kalau dibiarkan kolaps dampaknya akan kembali ke masyarakat luas dan pengusaha," pungkas Neilmaldrin. (Tribun Network/van/wly)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved