Bukan Dari Wuhan, Ternyata Virus Corona Pertama Kali Berasal Dari Negara Ini, Berikut Catatannya

Sekitar 23 sampel positif setelah ditelusuri ditemukan pada September 2019, ddiduga virus itu sudah berdiam di Italia enam bulan sebelum kasus pertama

Editor: Siti Fatimah
AFP/HECTOR RETAMAL
ilustrasi -Para staf di Rumah Sakit Palang Merah Wuhan, China, Sabtu (25/1/2020), menggunakan pelindung khusus, untuk menghindari serangan virus corona yang mematikan. 

TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Selama ini publik mengetahui kalaun virus corona pertama kali ditemukan di Wuhan, China karena kasus awal berasal dari negara Tirai Bambu ini.

Namun dari hasil penelitian ternyata Corona Virus diduga sudah muncul tahun lalu di Italia.

Disebutkan,  virus corona diduga sudah muncul di Italia sejak September 2019.

Baca juga: Bukan Hanya Gangguan Pernafasan, Pasien Covid-19 Juga Bisa Alami Gangguan Mental, Ini Contohnya

Dikutip dari Kontan.id, penelitian virus corona itu memunculkan lagi pertanyaan mengenai asal usul virus corona yang benar, maupun berapa lama pandemi ini akan berlangsung.

Studi itu dihelat oleh para ilmuwan di Institut Kanker Milan dan Universitas Siena, di mana hasilnya dipublikasikan di Tumori Journal.

Penelitian virus corona itu berbasis pada analisis sampel darah dari 959 orang, diambil saat pemindaian kanker paru-paru antara September 2019 sampai Maret 2020. Dari 959 sampel, 11 persen di antaranya, atau 111 orang, ternyata mempunyai antibodi yang spesifik terhadap virus bernama resmi SARS-Cov-2 itu.

Mereka yang punya antibodi itu termasuk orang tak bergejala dan tidak menunjukkan gejala yang umum terjadi pada pasien Covid-19.

Baca juga: Pandemi Covid-19 Masih Terus Terjadi Meski Ada Vaksin? Begini Penjelasan WHO

Sekitar 23 sampel positif itu setelah ditelusuri ditemukan pada September 2019, di mana diduga virus itu sudah berdiam di Italia enam bulan sebelum kasus pertama terkonfirmasi.

Studi virus corona itu tak pelak kembali menjadi sorotan.

Sebab, selama ini ilmuwan yakin virus corona dimulai dari kota China bernama Wuhan pada Desemner 2019.

Dilansir Russian Today Minggu (15/11/2020), temuan yang didapatkan oleh peneliti "Negeri Pizza" sangat berharga karena didasarkan pada sampel darah.

Temuan ini dilaporkan lebih bisa diandalkan dibandingkan penelitian sebelumnya yang bisa saja tidak akurat dalam membaca garis waktu pandemi.

Baca juga: 11 Ribu Ibu Rumah Tangga Ditargetkan Dites HIV/AID Sampai Akhir Tahun

Penemuan ini konsisten dengan laporan adanya kesusahan bernapas dan " flu atipikal" yang melanda Italia pada akhir tahun lalu.

Studi lain yang dirilis pada Juni lalu mengungkapkan adanya jejak virus corona di sistem pembuangan air di Italia pada akhir Desember 2019.

Penelitian lain juga terjadi di negara lain, seperti di Spanyol di mana ilmuwan mengeklaim menemukan jejak Covid-19 pada Maret 2019.

Analisis dalam data rumah sakit di Amerika Serikat (AS) menemukan adanya pasien dengan "flu aneh", di mana mereka menderita "batuk berat" dan sesak napas.

Berdasarkan data yang diambil oleh Universitas Johns Hopkins, secara global kasus virus corona sudah mencapai 54 juta orang. Sebanyak 1,3 juta di antaranya meninggal dunia, dengan AS menjadi negara yang paling terdampak dari kasus infeksi hingga kematian.

Jangan Percaya Mitos

TRIBUNJABAR.ID - Ketua Komnas Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI), Prof. Hindra Irawan Satiri, SpA(K), MTropPaed, menyampaikan, bahwa perkembangan vaksin COVID-19 sudah masuk uji fase III.

Seperti diketahui, uji klinis vaksin Sinovac telah masuk fase III dan selesai melakukan penyuntikan kepada seluruh sukarelawan yang dikerjakan di center Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (FK Unpad).

Pendampingan yang dilakukan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sejak pengembangan protokol uji klinik dan inspeksi pelaksanaan uji klinik.

Sedangkan untuk memastikan mutu vaksin COVID-19 dilakukan inspeksi kesiapan fasilitas produksi baik di Cina maupun di Bio Farma.

Baca juga: Tinjau Simulasi di Cikarang, Wapres Pastikan Vaksinasi Harus Aman, Lancar, dan Ada Fatwa MUI

Baca juga: 3 Pjs Daerah Zona Merah yang Gelar Pilkada di Jabar Kembali Diingatkan, Perketat Protokol Kesehatan

Uji klinik merupakan tahapan penting guna mendapatkan data efektivitas dan keamanan yang valid untuk mendukung proses registrasi vaksin Covid-19.

Sejauh ini tidak ditemukan adanya reaksi yang berlebihan atau Serious Adverse Event yang ditemukan selama menjalankan uji klinik fase III di Unpad.

"Kini tinggal menunggu laporan dari Brazil, China, Turki, dan Indonesia. Setelah laporan selesai barulah keluar izin edarnya. Jadi untuk mendeteksi dan mengkaji apakah ada kaitannya imunisasi dengan KIPI ada ilmunya, yang disebut Farmakovigilans.

Tujuannya untuk meningkatkan keamanan, meyakinkan masyarakat, sehingga memberikan pelayanan yang aman bagi pasien dan memberikan informasi terpercaya” kata Prof. Hindra, pada acara Dialog Produktif bertema Keamanan Vaksin dan Menjawab KIPI (Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi), yang diselenggarakan Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN), seperti yang dilansir Tribunjabar.id dari Covid19.go.id, Kamis (19/11/2020).

Prof. Dr. dr. Hindra Irawan Satari Sp.A(K)., MTropPaed, Ketua Komnas Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI)) memberikan paparan dalam dialog bertema keamanan vaksin dan menjawab KIPI (Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi) di Jakarta, Kamis, 19 November 2020.
Prof. Dr. dr. Hindra Irawan Satari Sp.A(K)., MTropPaed, Ketua Komnas Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI)) memberikan paparan dalam dialog bertema keamanan vaksin dan menjawab KIPI (Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi) di Jakarta, Kamis, 19 November 2020. (Covid19.go.id)

Lebih lanjut, Prof. Hindra menerangkan bahwa semua fase-fase uji klinik vaksin memiliki syarat yang harus dilakukan.

Semua syarat harus terpenuhi baru boleh melanjutkan ke fase berikutnya. Namun dalam keadaan khusus, seperti pandemi COVID-19, proses dipercepat tanpa menghilangkan syarat-syarat yang diperlukan.

Semua proses ini pun didukung oleh pembiayaan dan sumber daya yang dibutuhkan, sehingga proses-proses yang lebih panjang dalam penemuan vaksin bisa dipersingkat.

“Saya tidak setuju terminologi anti vaksin, masyarakat sebenarnya masih mis konsepsi, artinya pengertian masyarakat belum mantap karena mendapat keterangan dari orang-orang yang kurang kompeten atau bukan bidangnya. Kita perlu mendapatkan informasi dari sumber-sumber terpercaya seperti organisasi profesi dan kesehatan terpercaya. Jangan dari situs yang tidak jelas, dari grup WhatsApp itu yang membingungkan masyarakat”, kata Prof. Hindra.

Mengenai banyak mitos yang beredar di masyarakat, Prof. Hindra pun berupaya menjelaskannya secara jelas.

“Di masyarakat beredar mitos yang mengatakan vaksin mengandung zat berbahaya. Hal ini tidak benar, karena tentu saja kandungan vaksin sudah diuji sejak pra klinik. Sebenarnya vaksin tidak berbahaya, namun perlu diingat vaksin itu produk biologis. Oleh sebab itu vaksin bisa menyebabkan nyeri, kemerahan, dan pembengkakan yang merupakan reaksi alamiah dari vaksin. Jadi memang kita harus berhati-hati mengenai mitos-mitos terkait KIPI ini," paparnya.

Apabila ditemukan KIPI, sebenarnya semua masyarakat bisa melaporkan ke Komnas KIPI melalui situs, www.keamananvaksin.kemkes.go.id.

Komnas KIPI sendiri merupakan Lembaga yang terbentuk sejak 2007 yang beranggotakan para ahli independen, dengan kompetensi dan keilmuan terkait vaksinologi.

Bahkan untuk menjangkau wilayah Indonesia yang luas, telah terbentuk Komite Daerah KIPI di 34 Provinsi.

“Yakinlah keamanan vaksin itu dipantau sejak awal. Bahkan setelah vaksin diregistrasi, tetap dipantau dan dikaji keamanannya”, ujar Prof. Hindra.

Prof. Hindra meyakini, selain COVID-19, masyarakat saat ini dihadapkan pula dengan informasi keliru yang tidak disikapi dengan bijak.

“Musuh kita cuma satu yaitu virus. Musuh kita adalah musuh bersama, untuk melawannya kita harus bekerja sama agar upaya-upaya jadi efektif dan tidak mementingkan diri sendiri. Cobalah bijak bersosial media dengan memilah-milah mana yang bisa dibagikan dan dipertanggungjawabkan, mana yang harusnya kita hapus. Jangan sampai meresahkan masyarakat, kalau kita bersatu Insya Allah dalam waktu yang tidak terlalu lama pandemi COVID-19 ini bisa kita taklukan”, tutupnya. (*)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Studi Sebut Covid-19 Diduga Muncul di Italia sejak September 2019",

Sumber: Kontan
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved