TKW Parti Liyani Kalahkan Pengusaha Kaya Mantan Bos Bandara Changi di Pengadilan, Kini Gugat 2 Jaksa
Ibarat Daud Melawan Goliath, Parti TKI asal Nganjuk Jawa Timur berhasil mengalahkan mantan majikan yang pengusaha kaya di Singapura di pengadilan.
Secara keseluruhan, barang-barang itu bernilai 34.000 dollar Singapura (Rp 367 juta).
Selama persidangan, Parti mengaku bahwa barang-barang itu adalah barang miliknya, barang-barang yang dia temukan, atau barang-barang yang tidak dia kemas sendiri ke dalam kotak.
Pada 2019, hakim distrik memutuskan dia bersalah dan menghukumnya dua tahun dan dua bulan penjara.
Parti memutuskan untuk mengajukan banding atas keputusan tersebut.
Kasus ini berlanjut hingga awal bulan ini ketika Pengadilan Tinggi Singapura akhirnya membebaskannya.
Hakim Chan Seng Onn menyimpulkan bahwa keluarga tersebut memiliki "motif yang tidak pantas" saat mengajukan tuntutan terhadapnya, tetapi juga menandai beberapa masalah terkait bagaimana polisi, jaksa penuntut, dan bahkan hakim distrik menangani kasus tersebut.
Dia mengatakan ada alasan untuk meyakini bahwa keluarga Liew telah mengajukan laporan polisi terhadap Parti untuk menghentikannya mengajukan keluhan bahwa ia diminta bekerja secara ilegal untuk membersihkan rumah Karl.
Hakim mencatat bahwa banyak barang yang diduga dicuri oleh Parti sebenarnya sudah rusak - seperti jam tangan yang memiliki tombol yang hilang, dan dua iPhone yang tidak berfungsi - dan mengatakan "bukan hal yang biasa" untuk mencuri barang-barang yang tidak berfungsi.
Dalam satu contoh, Parti dituduh mencuri pemutar DVD, yang menurut Parti telah dibuang oleh keluarga itu karena tidak berfungsi.
Jaksa kemudian mengakui bahwa mereka tahu mesin tersebut tidak dapat memutar DVD, tetapi tidak mengungkapkan hal ini selama persidangan ketika barang itu digunakan sebagai bukti dan terbukti dapat difungsikan dengan cara lain.
Hal ini mendapat kritik dari Hakim Chan yang mengatakan mereka telah menggunakan "teknik sulap ... [yang] sangat merugikan terdakwa".
Selain itu, Hakim Chan juga mempertanyakan kredibilitas Karl Liew sebagai saksi.
Liew yang usianya lebih muda dari Parti menuduh asisten rumah tangga itu mencuri pisau merah muda yang diduga dibelinya di Inggris dan dibawa kembali ke Singapura pada tahun 2002.
Namun ia kemudian mengakui bahwa pisau itu memiliki desain modern yang tidak mungkin diproduksi di Inggris sebelum tahun 2002.
Dia juga mengklaim bahwa berbagai pakaian, termasuk pakaian perempuan, yang ditemukan dalam kepemilikan Parti sebenarnya adalah miliknya - tetapi kemudian tidak dapat mengingat apakah dia memiliki beberapa pakaian itu.
Ketika ditanya selama persidangan mengapa dia memiliki pakaian perempuan, dia mengatakan dia suka melakukan cross-dressing (memakai baju lain jenis) - sebuah klaim yang menurut Hakim Chan "sangat tidak bisa dipercaya".
Hakim Chan juga mempertanyakan tindakan yang diambil oleh polisi - yang tidak mengunjungi atau melihat lokasi kejadian sampai sekitar lima minggu setelah laporan awal polisi dibuat.
Polisi juga tidak menawarkan penerjemah yang bisa berbahasa Indonesia, dan malah menawarkan penerjemah yang bisa berbahasa Melayu, bahasa lain yang tidak biasa digunakan Parti.
"Tindakan polisi dalam cara mereka menangani penyelidikan sangat mengkhawatirkan," kata Eugene Tan, Profesor Hukum di Universitas Manajemen Singapura kepada BBC News.
"Hakim distrik tampaknya telah berprasangka buruk terhadap kasus tersebut dan gagal melihat kegagalan polisi dan jaksa."
Pertarungan Daud versus Goliath
Kasus ini menarik perhatian publik di Singapura dan sebagian besar orang marah pada Liew dan keluarganya.
Banyak yang menganggap kasus ini sebagai contoh orang kaya dan elite yang menindas orang miskin dan tidak berdaya, dan hidup dengan aturan mereka sendiri.
Meskipun keadilan pada akhirnya menang, di antara beberapa warga Singapura, hal itu mengguncang kepercayaan yang sudah lama dipegang terkait keadilan dan sistem hukum yang tak berpihak.
"Belum ada kasus seperti ini," kata Prof Tan.
"Kegagalan sistemik yang tampak dalam kasus ini telah menyebabkan keresahan publik.
Pertanyaan yang muncul di benak banyak orang adalah: Bagaimana jika saya berada di posisinya? Apakah kasus itu akan diselidiki secara adil… dan tidak berpihak?
Kenyataan bahwa keluarga Liew mampu membuat polisi dan pengadilan yang lebih rendah percaya pada tuduhan palsu telah menimbulkan pertanyaan yang sah tentang apakah sistem check and balances (pengawasan dan keseimbangan) sudah memadai."
Menyusul protes publik, Liew Mun Leong mengumumkan pengunduran dirinya dari jabatannya sebagai pimpinan beberapa perusahaan bergengsi.
Dalam sebuah pernyataan, dia mengatakan dia "menghormati" keputusan Pengadilan Tinggi dan percaya pada sistem hukum Singapura.
Namun dia juga membela diri terkait laporannya ke polisi dengan mengatakan: "Saya sangat yakin bahwa jika ada kecurigaan seseorang melakukan kesalahan, sudah menjadi kewajiban kita sebagai warga negara untuk melaporkan masalah tersebut ke polisi".
Karl Liew tetap diam dan belum merilis pernyataan apapun tentang masalah tersebut.
Kasus ini telah memicu peninjauan proses polisi dan penuntutan. Menteri Hukum dan Dalam Negeri K Shanmugam mengakui "ada yang tidak beres dalam rangkaian kejadian".
Apa yang dilakukan pemerintah selanjutnya akan diawasi dengan sangat ketat. Jika pemerintah gagal memenuhi tuntutan warga Singapura untuk "akuntabilitas yang lebih besar dan keadilan sistemik", ini dapat mengarah pada "persepsi yang mengkhawatirkan bahwa elite menempatkan kepentingannya di atas kepentingan masyarakat," tulis komentator Singapura Donald Low dalam esai baru-baru ini.
"Inti dari perdebatan ini [adalah] apakah elitisme telah merembes ke dalam sistem dan mengungkap kerusakan dalam sistem moral kita," kata mantan jurnalis PN Balji dalam komentar terpisah.
"Jika hal ini tidak diselesaikan secara memuaskan, maka pekerjaan asisten rumah tangga, pengacara, aktivis, dan hakim akan sia-sia."
Kasus tersebut juga menyorot masalah akses pekerja migran terhadap keadilan.
Parti dapat tinggal di Singapura dan memperjuangkan kasusnya karena dukungan dari organisasi non-pemerintah Home, dan pengacara Anil Balchandani, yang bertindak pro bono tetapi memperkirakan biaya hukumnya bisa mencapai 150.000 dollar Singapura (Rp 1,6 miliar).
Singapura memang menyediakan bantuan hukum bagi para pekerja migran, tetapi para pekerja biasanya merupakan tulang punggung keluarga, sehingga banyak dari mereka yang menghadapi proses hukum seringkali memutuskan untuk tidak mempermasalahkan kasus mereka karena tidak memiliki kemewahan untuk tidak berpenghasilan selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun, kata Home.
"Parti diwakili oleh pengacaranya yang… berjuang dengan gigih melawan kekuatan negara. Kekuatan tenaga hukum yang tak seimbang terlihat sangat mencolok," kata Prof Tan.
"Itu adalah pertarungan Daud melawan Goliath - dengan Daud muncul sebagai pemenang."
Sementara Parti, dia mengatakan dia sekarang akan kembali ke rumah.
"Sekarang masalah saya hilang, saya ingin kembali ke Indonesia," katanya dalam wawancara.
"Saya memaafkan majikan saya. Saya hanya ingin memberi tahu mereka agar tidak melakukan hal yang sama kepada pekerja lain."
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "TKI Parti Liyani Gugat Jaksa yang Tuntut Dia Bersalah", Klik untuk baca: https://www.kompas.com/global/read/2020/09/24/104054470/tki-parti-liyani-gugat-jaksa-yang-tuntut-dia-bersalah?page=all#page2.
Penulis : Kontributor Singapura, Ericssen