Dini Hari Mencekam Ketika DI Panjaitan Diculik dan Dihabisi Saat G30S/PKI, Pasukan Kepung Rumahnya
Mayjen Donald Isaac (DI) Panjaitan sedang bersama istri dan anaknya di lantai atas rumahnya, pada 1 Oktober 1965 dini hari.
Penulis: Yongky Yulius | Editor: Widia Lestari
TRIBUNJABAR.ID - Mayjen Donald Isaac (DI) Panjaitan sedang bersama istri dan anaknya di lantai atas rumahnya, pada 1 Oktober 1965 dini hari.
Rumah berlantai dua itu terletak di Jalan Hasanuddin No. 53 kawasan Blok M, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Ketika itu, beberapa truk berisi pasukan mendatangi rumahnya.
Truk datang ke depan dan belakang rumah.
Suara derap sepatu mereka ribut, pasukan juga memanggil-manggil setelah turun dari truk, "Bapak jenderal, bapak jenderal!"
Pasukan yang disebut mengenakan seragam Cakrabirawa tersebut lalu mengepung rumah DI Panjaitan.
Di lantai bawah, pasukan diadang oleh beberapa keluarga dari sang Jenderal.
Catherine Panjaitan, putri dari DI Panjaitan bercerita, pasukan diadang oleh sepupu dan omnya, ada tiga orang laki-laki.
Namun, pasukan tersebut malah menembak.
• Menjelang Hari-hari G30S/PKI, Lagu Genjer-genjer Hits hingga Menjadi Bencana Disebut Atribut PKI
Akhirnya, ada dua orang terkena tembakan.
"Sambil sepupu saya teriak, orang Batak itu bilang Om dengan sebutan Tulang, 'Tulang, tulang jangan turun'," ujar putri DI Panjaitan, dikutip TribunJabar.id dari kanal YouTube iNews Talkshow & Magazine pada Selasa (25/9/2018).
Pasukan itu tak berhenti, mereka kemudian bertanya kepada pembantu di rumah tersebut apakah mengetahui keberadaan DI Panjaitan.
Setelah mengetahui posisi targetnya, pasukan itu langsung naik ke atas.
Catherine dan keluarganya tak bisa meminta bantuan.
Pasalnya, telepon zaman dahulu berbentuk paralel.

Kabelnya dipotong dari lantai bawah.
"Akhirnya mereka di tangga teriak, 'Bapak jenderal, bapak jenderal' panggil ayah saya. Terus ayah saya sedang sibuk ngokang-ngokang (senjata)," kata Catherine.
Setelah dipanggil oleh pasukan itu, DI Panjaitan menjawab, "Ada apa?"
Salah seorang dari pasukan itu mengatakan, DI Panjaitan dipanggil oleh kepala duka yang mulia.
Namun, istri Panjaitan yang membalasnya, dia berujar, suaminya tengah berpakaian terlebih dahulu.
Kendati demikian, pasukan tersebut tetap menarik paksa DI Panjaitan agar turun.
Catherine Panjaitan sempat akan ikut ke bawah, tapi pada akhirnya dia dilarang.
• 3 Peluru Bersarang di Punggung Ade Irma Suryani, Ini Cerita Penculikan AH NAsution di G30S/PKI
Catherine juga melihat ayahnya dipaksa untuk hormat kepada perwira.
Namun karena menolak, DI Panjaitan mendapat pukulan di dahi.
Setelah itu, tembakan juga dilepaskan oleh pasukan tersebut.
"Tapi saat saya turun ayah saya enggak ada lagi, diseret dilempar ke gerbang, karena gerbang kan tinggi, dilempar sudah kaya binatang," ungkapnya.

Mayat DI Panjaitan dibawa oleh pasukan pembelot ke dalam truk dan dibawa kembali ke markas gerakan itu di Lubang Buaya.
Dia menjadi satu di antara beberapa perwira tinggi militer yang jadi korban peristiwa G30S atau Gerakan 30 September tersebut.
Disebut-sebut, peristiwa itu merupakan upaya kudeta dari PKI.
Kendati demikian, perdebatan juga masih terjadi sampai sekarang mengenai siapa dalang di balik peristiwa itu.
Beberapa korban dari G30S kini dikenal juga sebagai Pahlawan Revolusi.
Mereka jadi korban sejarah kelam Bangsa Indonesia.