Perputaran Uang di Kampung Bendera Leles Mencapai Miliaran Rupiah, Pengusaha Kesulitan Modal

SEBUTAN kampung bendera sudah melekat di Kecamatan Leles, Kabupaten Garut. Produk bendera dari Leles sudah dijual ke semua pelosok negeri.

Penulis: Firman Wijaksana | Editor: Januar Pribadi Hamel
Tribun Jabar/Firman Wijaksana
Kampung Bendera di Leles, Garut. 

SEBUTAN kampung bendera sudah melekat di Kecamatan Leles, Kabupaten Garut. Produk bendera dari Leles sudah dijual ke semua pelosok negeri.

Sejak tahun 1980-an, warga Leles mulai memproduksi bendera merah putih. Pencetusnya dua tokoh dari Desa Leles.

Usaha yang awalnya hanya digeluti dua orang, akhirnya bisa menyebar ke hampir semua warga di Leles.

"Nama kampung bendera mulai dikenal kisaran 1980-an sampai 1990-an. Waktu saya masih SMP di akhir 80-an itu sudah banyak yang jualan.

"Pencetusnya itu dari Kampung Babakan Sari dan Pangkurisan Kidul, Desa Leles," ujar Sekretaris Desa Leles, Senja Husein ditemui di kantor desa, Jumat (7/8).

Usaha bendera terus berkembang sehingga banyak warga yang tertarik. Warga mulai belajar menjahit dan menjual bendera ke luar kota. Mereka pun bisa mendapat modal dan membuka usaha sendiri.

"Yang awalnya kerja di orang, terus bisa punya modal sendiri. Lalu bikin usaha bendera sendiri. Jadi makin banyak pengusahanya," katanya.

Kepala Desa Leles, Tony Triswandi, mengatakan, perputaran uang dari usaha bendera di Leles bisa mencapai miliaran rupiah.

Para pengusaha bendera di Leles bisa berinvestasi ke usahanya di atas Rp 3 miliar.

"Cuma tahun ini berkurang drastis sampai 50 persen. Ada yang untuk modal itu bisa gadaikan rumah.

"Bahkan pinjam ke bank keliling yang bunganya sampai 30 persen. Tapi bisa bayar dan tetap punya keuntungan," kata Tony.

Menurutnya, di masa pandemi usaha bendera merosot tajam. Ribuan warga yang biasanya pergi merantau ke luar kota untuk menjual bendera, banyak yang mengurungkan diri.

Dari data di desa, hanya ada 150 warga Desa Leles yang pergi berjualan bendera.

Bendera Buatan Kampung Bendera, Leles, Dijual Hingga ke Majenang dan Palu

"Data itu didapat karena mereka pergi ke luar daerah harus punya surat jalan. Yang bikin hanya 150 orang. Padahal bisa sampai 1.000 lebih tahun lalu itu," ucapnya.

Sumber: Tribun Jabar
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved