Lebaran dan Labirin
Mampukah kita bersabar melalui ujian labirin kehidupan di momen Lebaran ini
TRIBUNJABAR.ID - Sebentar lagi seluruh umat Islam di seluruh dunia akan merayakan Hari Raya Idulfitri yang dalam terminologi lokal disebut Lebaran.
Lebaran identik dengan ritual saling berbagi dan silaturahim untuk menyambung tali keakraban yang terputus atau merapatkan persaudaraan.
Namun, pandemi Covid-19 telah mengubah banyak hal kehidupan sosial manusia.
Ruang-ruang kehidupan dilakukan pembatasan demi kemaslahatan.
Lebaran kali ini dipastikan tak ada semarak mudik, salat Id berjemaah di masjid, dan tak ada silaturahmi fisik.
Bahkan, untuk silaturahim dengan menemui kerabat dan tetangga yang biasanya mendatangi rumah disarankan cukup dilakukan secara daring (online).
Silaturahim atau halal bihalal diimbau cukup dilakukan melalui media sosial dan konferensi video.
Lebaran
Lebaran berasal dari kata lebar yang maksudnya agar di hari raya kita harus berdada lebar atau lapang dada untuk meminta dan sekaligus memberi maaf kepada sesama.
Maaf diambil dari kata ‘afa yang berarti menghapus.
Dengan demikian, sesuatu yang telah dihapus mestinya hilang sehingga tidak ada yang perlu diingat lagi.
Perkara memaafkan ini seringkali lebih mudah diucapkan, padahal praktiknya sulit.
Agama pun hanya menganjurkannya tidak mewajibkan karena pemaafan haruslah tulus tidak ada paksaan dari manapun.
Barang siapa memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas (jaminan) Allah (QS asy-Syura :40).
Sebagai manusia yang memiliki potensi untuk berbuat salah dan khilaf, saatnya kita menyadari kesalahan dan berusaha kembali ke fitrah (suci) dengan cara memperbaiki hubungan sesama (human relations) secara baik.