paling nyongcolang
Ibu Fat, Data, dan Bunga Tulip
Kepada para mahasiswa awal semester Ibu Fat seringkali memprvokasi agar mereka dapat membawa Sunda ke dunia internasional
Ibu Fat, Data, dan Bunga Tulip
Oleh TEDDI MUHTADIN
Dosen Departemen Susastra dan Kajian Budaya, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran.
SATU ketika kening saya berkerut membaca sebuah artikel di halaman majalah Warga, yaitu sebuah majalah berbahasa Sunda yang terbit pada awal tahun 1950-an. Dalam artikel tersebut si penulis berharap bahwa pada satu ketika akan ada orang Sunda yang menjadi sarjana bahasa Sunda yang secara sungguh-sungguh meneliti dan mengikuti perkembangan bahasa Sunda. Sampai saat itu belum ada orang Sunda yang menjadi sarjana bahasa Sunda. Para sarjana yang memiliki perhatian terhadap bahasa Sunda umumnya adalah orang asing.
Kening saya berkerut karena saya membaca artikel tersebut sekira setengah abad setelah artikel itu ditulis. Di tempat saya membacanya, di kantor Prodi Sastra Sunda, ada tersusun dengan rapi puluhan skripsi dan sederet potret dosen Prodi Sasrra Sunda. Saya sadar bahwa kini apa yang dicita-citakan sang penulis artikel di majalah Warga tersebut menjadi kenyataan. Kini, sarjana bahasa dan sastra Sunda banyak. Malah sebagian sarjana S1banyak yang melanjutkan ke S2 dan S3.
Di antara para sarjana bahasa Sunda tersebut ada yang menjadi dosen Prodi Sastra Sunda. Di antara dosen Prodi Sastra Sunda ada yang paling nyongcolang. Beliau adalah Prof. Dr. Fatimah Djajasudarma, yang biasa dipanggil Ibu Fat atau Bu Fat. Panggilan yang sebenarnya tidak biasa dalam bahasa Sunda, karena umumnya orang Sunda menyebut nama orang dengan dua suku kata. Seharusnya Fatimah tidak dipanggil Fat, tetapi Empat. Namun, itulah kenyataannya. Sekarang sebagian orang menyebutnya Ibu Prof.
Saya ingat, ketika masuk menjadi mahasiswa Program Studi Sastra Sunda Unpad (1986), Ibu Fat baru saja menyelesaikan Program Doktornya. Saat itu beliau adalah doktor baru dalam bidang linguistik di Fakultas Sastra Unpad. Bukunya tentang gramatika Sunda yang terbit saat itu dibaca mahasiswa dan umum. Ada rasa bangga membaca buku yang ditulis oleh seseorang yang dikenal. Berbeda dengan buku-buku yang saya baca waktu SMA. Tak ada satu pun pengarangnya yang saya kenal.
Ibu Fat adalah sosok akademisi yang suntuk dengan keilmuannya. Dari kedalaman ilmunya kadang-kadang muncul rasa segan dari orang lain untuk mendekatinya.
Namun, di samping rasa segan ada pula rasa nyaman. Rasa nyaman yang tumbuh perlahan karena beliau adalah seseorang yang dapat diandalkan kemampuannya dan dipercayai pendapatnya.
Tentu, ada banyak pengetahuan yang terpancar dari kealiman beliau kepada mahasiswa maupun koleganya. Namun, ada beberapa kata yang kini tiba-tiba berkelebat dalam pikiran saya. Kata-kata tersebut adalah dunia, data, dan pewarisan.
Kepada para mahasiswa awal semester Ibu Fat seringkali memprvokasi agar mereka dapat membawa Sunda ke dunia internasional. Di sini tampak bahwa Bu Fat adalah sosok akademisi yang tangguh. Menurut Ibu Fat, bahasa Sunda adalah bahasa daerah atau lokal, tetapi ilmu tentang bahasa Sunda bersifat universal. Dengan ilmu yang bersifat universal inilah kita dapat membawa bahasa Sunda ke ranah internasional. Ibu Fat sering mencontohkan bahwa beliau dapat berkunjung ke tempat-tempat yang jauh berkat bahasa Sunda. Beliau pun mendaftarkan bahasa Sunda ke UNESCO. Dalam hal ini bahasa asing, terutama Inggris, menjadi sangat penting untuk dipelajari sebagai alat untuk membawa bahasa Sunda tersebut.
Dalam konteks ilmu yang universal tersebut bahasa Sunda dapat dijadikan data yang penting. Dalam bimbingan terhadap mahasiswa beberapa kali saya melihat Ibu Fat menanyakan tentang data. Gara-gara data itu beberapa mahasiswa yang menulis skripsi, tesis, atau disertasi harus turun lagi ke lapangan atau membongkar-bongkar pustaka lagi untuk mengumpulkan atau mengganti data. Memang, bagi seorang ilmuwan data sungguh penting karena berbicara keilmuan tanpa data sama saja dengan nonsen. Pemahaman tehadap data berarti pula pemahanan terhadap teori. Segala sesuatu dapat disebut data karena teori menunjuknya sebagai data atau bukan data.
Hal terakhir yang tiba-tiba muncul dalam pikiran saya adalah soal pewarisan. Ibu Fat berkali-kali menyatakan bahwa budaya Sunda perlu diwariskan. Namun, beliau pun bertanya, kebudayaan Sunda yang mana? Menurut beliau kebudayaan Sunda yang perlu diwariskan adalah kebudayaan Sunda sekarang, bukan kebudayaan Sunda masa lalu atau budaya Sunda yang telah mati. Dalam hal pewarisan pun ternyata data memiliki peran yang sangat penting. Kita memerlukan semacan bank data atau dalam konteks sekarang adalah big data.
Tentu masih bayak hal-hal penting yang patut diteladani dari diri seorang Ibu Fat, tetapi hal tersebut memelukan tulisan yang lebih panjang dan penelitian yang lebih saksama. Dalam tulisan pendek ini, cukuplah dijelaskan bahwa bagi kami para mahasiswa dan dosen-dosen Program Studi Sastra Sunda, Ibu Fat adalah tuturus, tempat kami meminta bantuan dan pendapat.
Ibu Fat yang lahir di Garut 22 Februari 1944 kini telah meninggalkan kita semua. Hari Rabu, 20 Mei 2020, beliau tutup usia karena sakit. Almarhumah dimakamkan di pemakanan Pasantren Nurasyiah, Cisaranten Kulon, Arcamanik di bawah pohon kecil setinggi kira-kira lima meter, di tempat yang agak tinggi dengan pemandangan yang jauh ke arah lembah.
Ibu Fat telah selesai dan beristirah dari hirup-pikuk kehidupan dunia. Kini estafet keilmuan dalam bidang bahasa beralih kepada mereka yang pernah digembleng beliau baik dalam pendidikan maupun dalam penelitian. Semoga kini almarhumah hidup tenang di alam baka.
Sebagai warga Fakultas Ilmu Budaya, meskipun lebih dikenal sebagai ilmuwan, Ibu Fat bersama suami, Pak Idat, ternyata menulis puisi juga. Untuk mengakhiri tulisan ini saya kutip dua larik puisinya tentang perjalanan beliau di Negeri Belanda. Dalam perjalanan tersebut beliau mencatat kesan yang dilihatnya tentang alam luas nan tenang dan mempesona. Semoga gambaran alam itulah yang kini ditemui almarhumah di alam sana.***
Bunga tulip, padang rumput, kebun jagung
terhampar luas
Dikutip dari sajak “Negeri Kincir Angin” dalam buku Mozaik: Kumpulan Puisi Bilingual karya T. Fatimah Djajasudarma & Idat, 1981.