Jejak Kejayaan Jalur Kereta Api Rancaekek-Tanjungsari, Terekam Jadi Nama Jalan, Warga Menyebutnya SS

SS adalah akronim dari stat spoor, istilah dalam bahasa Belanda, berarti jalan kereta api. Dulu, kawasan SS di Tanjungsari bagian dari Staatspoorwegen

sumber https://jatinangorkec.sumedangkab.go.id
pembangunan jalur kereta api Jatinangor-Tanjungsari 

 Laporan Wartawan Tribun Jabar, Seli Andina Miranti

TRIBUNJABAR.ID, SUMEDANG- Dibangun pemerintah kolonial Belanda pada 1921, jalur kereta api yang menghubungkan Kecamatan Rancaekek di Kabupaten Bandung dengan Kecamatan Tanjungsari di Kabupaten Sumedang berhenti beroperasi pada 1942.

Itu terjadi setelah ditutup penjajah Jepang yang menggunakan semua relnya untuk membangun jalur kereta api Saketi-Bayah.

Pada masanya, jalur kereta api ini dipakai untuk mengangkut berbagai hasil bumi dari Sumedang ke Bandung, atau sebaliknya.

Meski puluhan tahun tak berfungsi dan kondisi sudah jauh berubah, sisa-sisa keberadaan jalur legendaris ini masih bisa dilihat.

Sekilas tak ada yang istimewa dari daerah di belakang kantor Kecamatan Tanjungsari, Kabupaten Sumedang.

Masyarakat Tanjungsari menyebut daerah padat penduduk ini sebagai kawasan SS. Rumah-rumah berjajar berdempetan di kanan kiri jalan, sesekali terseling gang kecil yang sebagian hanya cukup dilalui kendaraan roda dua.

Pembangunan jalur kereta api Jatinangor-Tanjungsari
Pembangunan jalur kereta api Jatinangor-Tanjungsari (sumber https://jatinangorkec.sumedangkab.go.id)

RESMI 4 Apartemen Jadi Hotel di Jatinangor Ditutup, Satpol PP Sumedang Panggil Semua Manajemen

Warga Terkejut, Patok PT KAI Sudah Dipasang di Jalur Kereta Api Lama Tanjungsari-Jatinangor

Akses jalan di lingkungan ini juga tak terlihat istimewa. Berlapis aspal dan dihiasi beberapa polisi tidur agar pengendara tidak melajukan kecepatan terlalu tinggi.

Jalan utama di lingkungan SS ini sedikit berbeda dengan kebanyakan jalan di Kecamatan Tanjungsari. Jalannya lebih kecil, hanya cukup dilalui satu mobil, tapi masih lebih lebar dari jalan gang.

Bila ada dua mobil yang melintas dari arah berlawanan, maka salah satunya harus menyingkir sedikit di bagian jalan yang agak lebar. Lebar jalan sedikit banyak mirip dengan lebar jalur kereta api.

Bila melintas di sore hari, maka jalan utama SS ini nampak "hidup" dan ramai. Para ibu berkumpul dan saling mengobrol di salah satu sudut jalan, sementara para pemuda berkumpul di bengkel sepeda di bagian depan lingkungan SS.

Beberapa anak kecil biasanya berlarian dengan plastik berisi kelereng ataupun mainan kecil di tangan.

Meski dikenal dengan sebutan SS, tak banyak warga yang tahu kepanjangan dari SS. Jangankan warga yang tinggal di luar kawasan tersebut, mereka yang sedari kecil tinggal di sana pun hanya sedikit yang mengetahuinya.

Mereka yang tahu, kebanyakan sudah lanjut usia.

SS adalah akronim dari stat spoor, istilah dalam bahasa Belanda, yang berarti jalan kereta api. Dulu, kawasan SS di Tanjungsari adalah bagian dari Staatspoorwegen (SS), atau lengkapnya, Staatspoor-en-Tramwegen in Nederlandsch-Indie (SS en T).

Kini Lebih Nyaman, Tahura Gunung Palasari Sumedang Jadi Banyak Dikunjungi Wisatawan

SDN Sukawening Sumedang Batal Digusur, Semula Bakal Direlokasi Imbas Tol Cisumdawu

Lingkungan ini dulunya merupakan jalur kereta api tua zaman Hindia-Belanda yang sudah tidak digunakan lagi sejak zaman penjajahan Jepang.

Sejarah SS ini diceritakan turun temurun di antara warga Kecamatan Tanjungsari, terutama warga asli sekitar Lingkungan SS.

Hendar (50), salah seorang warga Lingkungan SS yang bekerja di Kantor Desa Tanjungsari, mengatakan informasi mengenai sejarah SS memang kebanyakan didapatkan dari cerita turun temurun.

Tak banyak artikel maupun buku referensi yang membahas mengenai sejarah jalur kereta api tua Rancaekek-Tanjungsari tersebut.

“Mendengar dari orangtua yang mengalami langsung. Kalau yang masih mengalami mah sudah tidak ada, sudah sepuh-sepuh semua kan, itu dulu sekali,” ujar Hendar ketika ditemui di Kantor Desa Tanjungsari, Selasa (14/1/2020).

Hendar bercerita, dahulu, wilayah Tanjungsari dan Jatinangor merupakan perkebunan, jalur kereta api SS tersebut digunakan oleh kereta api pembawa hasil bumi. Jalur kereta apinya pun tidak sampai wilayah Sumedang Kota, hanya sampai wilayah SS tersebut. Adapun hasil bumi yang diangkut di antaranya adalah kopi dan karet.

Pembangunan dan penggunaan jalur kereta api tua tersebut, lanjut Hendar, dilakukan pada zaman Hindia Belanda atau masa penjajahan Belanda. Namun, jalur kereta api tersebut tak lagi digunakan saat Indonesia direbut oleh Jepang atau masa penjajahan Jepang.

“Kata orang tua saya teh, datang Jepang, sama Jepang dibongkar sampai tidak bersisa. Sampai sekarang, weh, jalur ini teh tidak pernah digunakan lagi untuk jalur kereta api,” ujarnya.

Dishub Akui Pernah Lakukan Kajian Akademis Jalur Elevated Kereta Api di Kota Cirebon

Tersisa Remehnya

Dilansir dari laman resmi Kecamatan Jatinangor,  jalur kereta api yang menghubungkan Rancaekek-Tanjungsari memang dibuat untuk memperlancar transportasi hasil perkebunan.

Pembangunan jalur kereta api tersebut dilakukan pada 1916 lewat program proyek rel kereta api Rancaekek-Tanjungsari-Citali sepanjang 15 kilometer.

Namun pada kenyataannya, pembangunan rel kereta api tersebut hanya sampai Tanjungsari dan tidak dilanjutkan ke Citali karena kendala biaya. Jalur kereta api tersebut mulai dioperasikan pada 13 Februari 1921.

Hendar mengatakan, sepanjang jalur kereta api lama Rancaekek-Tanjungsari, sudah hampir tidak ada sisa-sisa bangunan tempo dulu yang berhubungan dengan kereta api.

Bila ditelusuri, maka seluruh jalur kereta api tersebut sudah berganti menjadi tanah pertanian dan pemukiman warga.

“Yang tersisa paling 'remehnya' saja. Dulu kan ku Jepang relnya dibongkar, diangkut. Kereta zaman dulu, mah, kan suka ada tiang dan kawat penghubungnya di rel teh. Yang itunya juga habis diambilin oleh oknum yang tidak bertanggung jawab,” ujar Hendar.

Ketika ditelusuri di sekitar Lingkungan SS, ada satu papan tua yang tersisa. Papan tersebut terpasang di sebuah bangunan yang menurut warga sekitar dulunya merupakan Stasiun Tanjungsari.

Papan tersebut bertuliskan “TANDJOENGSARI” dengan ejaan lama. Tulisan di papan tersebut sudah tidak jelas, sebagian permukaannya sudah mengelupas, bagian angka di bawah tulisan “TANDJOENGSARI” pun sudah tak terlihat jelas.

Papan tua itu baru bisa terlihat bila kita memasuki sebuah gang di samping Gedung Juang 45 Tanjungsari. Gedung itulah yang dulu menjadi bagian dari Stasiun Tanjungsari. Bangunannya sendiri telah berubah dan tak menyisakan sisa-sisa bentuk bangunan jaman dahulu.

“Itu tanda stasiun teh, yang lainnya mah sudah tidak ada,” ujar Sri (48), warga sekitar. (bersambung)

Sumber: Tribun Jabar
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved