Pengamat Sebut UMK Kian Menghantam Industri di Jawa Barat
Ahli ketenagakerjaan sekaligus pengacara dari Indonesian Consultant at Law (ICLaw), Hemasari Dharmabumi
Penulis: Muhamad Syarif Abdussalam | Editor: Ichsan
Laporan Wartawan Tribun Jabar, Syarif Abdussalam
TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Ahli ketenagakerjaan sekaligus pengacara dari Indonesian Consultant at Law (ICLaw), Hemasari Dharmabumi, mengatakan permasalahan UMK yang kian rumit terus menghantam kondisi industri dan ketenagakerjaan di Jawa Barat.
Pengusaha semakin kebingungan untuk membayar gaji pekerjanya sesuai UMK di Jawa Barat yang tiap tahun semakin meroket dan akhirnya mereka membuka opsi untuk merelokasi usahanya ke provinsi dengan UMK yang lebih rendah seperti Jawa Tengah.
Menurut Hemasari, sejak 2012 contohnya, kenaikan UMK di Kabupaten Bogor telah mencapai lebih dari 300 persen. Kenaikan ini jauh melampaui tingkat inflasi rata-rata Jabar sejak 2012. Sejak saat itu, kenaikan UMK rata-rata di Jawa Barat pun mencapai antara 8 sampai 25 persen per tahun.
"UMK telah menjadi objek dari banyak sekali kepentingan. Dari mulai salah satu jualan dalam pilkada, sampai peluang untuk pungutan liar. Kondisi ini akan menghantam industri, karena industri memerlukan birokrasi yang bersih, peraturan yang jelas dan berwibawa, dan kepastian iklim usaha yang baik," kata Hemasari melalui ponsel, Minggu (1/12/2019).
• Hujan Deras Disertai Angin Kencang, 2 Pohon Tumbang Timpa Rumah di Citeureup Cimahi
Hemasari yang selama 25 tajun menjadi aktivis di serikat pekerja ini mengatakan telah menghimpun informasi dari berbagai perusahaan di Jawa Barat, terutama pada industri padat karya. Hasilnya diketahui, tingkat kepatuhan pelaksanaan UMK di Jabar sangat rendah.
"Namun untuk industri garmen orientasi ekspor, mereka dituntut untuk patuh terhadap UMK. Itulah sebabnya mereka sering meributkan permohonan kebijakan dispensasi yang disahkan oleh Gubernur, seperti Upah Minimum Padat Karya, atau Upah Minimum Khusus. Apabila mereka tidak memenuhi kepatuhan ini, mereka tidak mendapatkan order dari buyer," ujarnya.
Mengenai isu rencana relokasi sejumlah industri dari Jawa Barat ke Jawa Tengah, kata Hemasari, tahun ini sudah banyak perusahaan yang membeli lahan di Jawa Tengah. Tentu tidak akan ada yang bisa menahan mereka jika ingin melakukan relokasi atau penutupan pabrik.
"Kalau kita survei pekerja yang betul-betul bekerja di pabrik, mereka keberatan dengan penetapan UMK yang bisa membuat pabrik mereka hengkang. Masalahnya, apakah pengurus serikat pekerja tingkat provinsi yang mengancam-ngancam Gubernur itu masih bekerja di pabrik. Saya pikir, kepentingan serikat-serikat pekerja ini sudah sangat berjarak dengan suara-suara pekerja di perusahaan-perusahaan," ujar Hemasari.
• Kenyataan Getir, 518.516 ODHA di Indonesia Tidak Memperoleh Layanan Kesehatan HIV
Hemasari menuturkan, hal yang tidak menjadi pertimbangan dari kenaikan UMK ini adalah iuran BPJS. Dengan penetapan UMK, iuran BPJS akan dipatok minimal sebesar UMK. Padahal mungkin pekerjanya tidak mendapatkan upah sebesar itu. Inilah yang membuat perusahaan-perusahaan seperti perkebunan yang diambang kolaps, tidak lagi dapat membayar iuran BPJS.
Reformasi kebijakan pengupahan yang direncanakan Gubernur Jabar Ridwan Kamil, katanya, adalah bagian dari penyelamatan industri, terutama industri padat karya. Di saat yang bersamaan, berbagai OPD juga sedang melakukan penelaahan, kebijakan apa lagi yang harus diambil untuk melakukan penyelamatan ini.
"Kenapa seolah-olah menjadi pro industri, karena pada industri ini kita menitipkan jutaan warga Jawa Barat untuk bekerja, mendapatkan penghasilan, dan menyangga perekonomian Jawa Barat," katanya.
Mengenai kesejahteraan yang kerap dituntut sejumlah serikat buruh, katanya, akan didapat bertahap dengan beberapa syarat. Pertama, tingkat pengangguran harus ditekan sekecil mungkin. Tidak mungkin, ucapnya, pekerja sejahtera kalau angka pengangguran tinggi. Kalau mereka minta gaji naik, tinggal diganti oleh orang yang antre untuk bekerja.
"Kedua, tingkat produktivitas itu harus naik. Upah itu sangat relatif, bisa terlalu kecil atau terlalu besar. Ukurannya bukan kemampuan pekerja bisa nyicil HP baru atau motor baru, tetapi ukurannya dari produktivitas. Salah satu yang dapat menggenjot produktivitas adalah Struktur dan Skala Upah. Pekerja yang lebih produktif harus mendapatkan upah lebih tinggi. Dengan tingginya UMK, maka perusahaan kesulitan untuk membuat Struktur dan Skala Upah. Upah menjadi sama semua, tidak dilihat dari sisi produktivitas," katanya.
UMK yang telah ditetapkan oleh Gubernur, katanya, dalam salah satu poin Gubernur memberikan peluang adanya negosiasi antara pekerja dan perusahaan, apabila perusahaan sulit untuk membayar UMK. Secara hukum, ini masih kontroversial karena apakah mungkin disepakati nilai upah lebih rendah daripada ketentuan UMK yang telah ditetapkan. Lebih dari itu, ujarnya, dipertanyakan apakah buyer atau pemilik brand dapat menerima ketentuan ini sebagai syarat kepatuhan untuk memberikan order.