Jusuf Kalla Tegas Penyadapan KPK Tak Perlu Izin, PDIP Tegas Menolak Jika Jokowi Terbitkan Perppu KPK

Soal perizinan penyadapan, Jusuf Kalla mengatakan, semestinya penyadapan yang dilakukan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak perlu izin

Editor: Kisdiantoro
TRIBUN/IQBAL FIRDAUS
Berbagai tulisan lucu dibawa oleh mahasiswa ketika long march dari depan Kemenpora untuk akhirnya berhenti di depan Gedung DPR-MPR RI, Jakarta Pusat, Selasa (24/9/2019). Massa melakukan aksi penolakan RKUHP dan RUU KPK yang sedang mengundang kontroversi di masyarakat. TRIBUN/IQBAL FIRDAUS 

Hasil penyadapan, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 12D, bersifat rahasia dan hanya untuk kepentingan peradilan dalam pemberantasan korupsi.

Hasil penyadapan yang tidak terkait dengan tindak pidana korupsi yang sedang ditangani KPK pun wajib untuk segera dimusnahkan.

PDIP Tegas Tolak Perppu Pencabutan UU KPK Hasil Revisi

Fraksi PDI-P di DPR memastikan akan menolak jika Presiden Joko Widodo menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk mencabut Undang-Undang KPK hasil revisi.

Hal itu disampaikan oleh anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR Fraksi PDI-P, Hendrawan Supratikno.

Dia mengatakan, sikap resmi Fraksi PDI-P ialah menolak perppu dan menyarankan agar polemik revisi UU KPK diselesaikan melalui judicial review di Mahkamah Konsitusi atau legislative review.

"Pandangan resmi kami di fraksi, sebaiknya tetap melalui judicial review dan legislative review," kata Hendrawan saat dihubungi, Selasa (8/10/2019).

Perppu KPK, jika jadi diterbitkan Jokowi, memang akan langsung berlaku.

Namun, perppu itu tetap membutuhkan persetujuan DPR. Hal ini diatur di Pasal 22 Undang-Undang Dasar 1945. Pasal tersebut mengatur dalam kegentingan memaksa, presiden berhak menetapkan perppu.

Bupatinya Ditangkap KPK, Warga Lampung Utara Syukuran Potong Kambing

Ayat berikutnya mengatur, peraturan tersebut harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan berikut. Jika tidak mendapat persetujuan, perppu itu harus dicabut.

Hendrawan pun menilai tidak elok jika polemik revisi UU KPK ini harus diselesaikan lewat tarik menarik kepentingan politik. Ia menilai akan lebih baik diselesaikan lewat proses uji materi di MK atau revisi ulang di DPR dan pemerintah.

"Sedikit memakan waktu, tetapi prosesnya lebih sehat, ada di jalur hukum, bukan dengan hasil tarik-menarik kepentingan politik," kata Hendrawan.

Ribuan mahasiswa dan pelajar menggelar unjuk rasa di depan Gedung DPRD Provinsi Jawa Barat, Jalan Diponegoro, Kota Bandung, Senin (30/9/2019). Dalam aksi unjuk rasa yang berujung ricuh dengan polisi itu, mereka menuntut pemerintah dan DPR untuk membatalkan Revisi Undang-Undang KPK dan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).
Ribuan mahasiswa dan pelajar menggelar unjuk rasa di depan Gedung DPRD Provinsi Jawa Barat, Jalan Diponegoro, Kota Bandung, Senin (30/9/2019). Dalam aksi unjuk rasa yang berujung ricuh dengan polisi itu, mereka menuntut pemerintah dan DPR untuk membatalkan Revisi Undang-Undang KPK dan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). (Tribun Jabar/Gani Kurniawan)

Hendrawan kemudian menjelaskan semangat awal merevisi UU KPK yang telah belasan tahun diwacanakan itu. Pada awalnya, kata dia, KPK sebagai lembaga superbody dinilai perlu check and balances. Maka, dibuat dewan pengawas dengan harapan bisa menjadi penyeimbang.

"Pada awalnya sebenarnya sederhana, yaitu harapan agar sebuah lembaga hukum dengan wewenang sangat besar, bahkan disebut sebagai superbody, diawasi dengan tata kelola yang sehat. Itu sebabnya dibuat dewan pengawas," ujar Hendrawan.

"Jadi KPK yang semula pakai sistem single tier (satu lapis) diganti dengan two tiers (dua lapis) agar terjadi proses check and balances secara internal," katanya.

Halaman
123
Sumber: Kompas
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved