Fraksi PDIP di DPR RI Tegaskan Tak Mendukung Presiden Jokowi Terbitkan Perppu Soal Revisi UU KPK

Fraksi PDIP di DPR RI menegaskan menolak jika Presiden Jokowi mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk mencabut Undang

Editor: Theofilus Richard
KOMPAS.com/Nabilla Tashandra
Anggota Badan Legislasi DPR Hendrawan Supratikno di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (25/10/2017) 

TRIBUNJABAR.ID, JAKARTA - Fraksi PDIP di DPR RI menegaskan menolak jika Presiden Jokowi mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk mencabut Undang-Undang KPK hasil revisi. 

Hal itu disampaikan oleh anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Fraksi PDIP, Hendrawan Supratikno.

Dia mengatakan, sikap resmi Fraksi PDIP ialah menolak perppu dan menyarankan agar polemik revisi UU KPK diselesaikan melalui judicial review di Mahkamah Konsitusi atau legislative review.

"Pandangan resmi kami di fraksi, sebaiknya tetap melalui judicial review dan legislative review," kata Hendrawan saat dihubungi, Selasa (8/10/2019).

Bupatinya Ditangkap KPK, Warga Lampung Utara Syukuran Potong Kambing

Perppu KPK, jika jadi diterbitkan Jokowi, memang akan langsung berlaku. Namun, perppu itu tetap membutuhkan persetujuan DPR RI.

Hal ini diatur di Pasal 22 Undang-Undang Dasar 1945. Pasal tersebut mengatur dalam kegentingan memaksa, presiden berhak menetapkan perppu.

Ayat berikutnya mengatur, peraturan tersebut harus mendapat persetujuan DPR RI dalam persidangan berikut. Jika tidak mendapat persetujuan, perppu itu harus dicabut.

Hendrawan pun menilai tidak elok jika polemik revisi UU KPK ini harus diselesaikan lewat tarik menarik kepentingan politik.

Ia menilai akan lebih baik diselesaikan lewat proses uji materi di MK atau revisi ulang di DPR RI dan pemerintah.

"Sedikit memakan waktu, tetapi prosesnya lebih sehat, ada di jalur hukum, bukan dengan hasil tarik-menarik kepentingan politik," kata Hendrawan.

Tanggapi Hasil Survei LSI, Wakil Ketua DPR Sebut Tak Ada Alasan Presiden Harus Terbitkan Perppu KPK

Hendrawan kemudian menjelaskan semangat awal merevisi UU KPK yang telah belasan tahun diwacanakan itu.

Pada awalnya, kata dia, KPK sebagai lembaga superbody dinilai perlu check and balances. Maka, dibuat dewan pengawas dengan harapan bisa menjadi penyeimbang.

"Pada awalnya sebenarnya sederhana, yaitu harapan agar sebuah lembaga hukum dengan wewenang sangat besar, bahkan disebut sebagai superbody, diawasi dengan tata kelola yang sehat. Itu sebabnya dibuat dewan pengawas," ujar Hendrawan.

"Jadi KPK yang semula pakai sistem single tier (satu lapis) diganti dengan two tiers (dua lapis) agar terjadi proses check and balances secara internal," katanya.

UU KPK hasil revisi ramai-ramai ditolak karena disusun secara terburu-buru tanpa melibatkan masyarakat dan unsur pimpinan KPK.

Isi UU KPK yang baru juga dinilai mengandung banyak pasal yang dapat melemahkan kerja lembaga antikorupsi itu.

Misalnya KPK yang berstatus lembaga negara dan pegawai KPK yang berstatus ASN dapat mengganggu independensi.

Dibentuknya dewan pengawas dan penyadapan harus seizin dewan pengawas dianggap bisa mengganggu penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan KPK.

Heboh Ahok Jadi Dewan Pengawas KPK, Partai Megawati Angkat Bicara, Curiga Sentimen Antirevisi UU KPK

Kewenangan KPK untuk bisa menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) dalam jangka waktu dua tahun juga dinilai bisa membuat KPK kesulitan menangani kasus besar dan kompleks.

Setelah aksi unjuk rasa besar-besaran menolak UU KPK hasil revisi dan sejumlah RUU lain digelar mahasiswa di berbagai daerah, Presiden Jokowi mempertimbangkan untuk menerbitkan perppu.

Hal itu disampaikan Jokowi seusai bertemu puluhan tokoh di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (26/9/2019).

Namun, sampai hari ini belum ada kabar terbaru mengenai sikap Presiden terkait perppu.

(Kompas.com/Ihsanuddin)

Sumber: Kompas
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved