Kisah Habibie di Pengujung Kekuasaan Soeharto (3-Habis), Tak Pernah Bisa Lagi Bertemu Sang Presiden
"Sangat saya sayangkan bahwa Pak Harto ketika itu tidak berkenan berbicara dengan saya," kata BJ Habibie
Penulis: feb | Editor: Tarsisius Sutomonaio
Oleh Febby Mahendra Putra
TRIBUNJABAR.ID- Pada September 2006, BJ Habibie meluncurkan buku Detik-detik yang Menentukan Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi.
Dalam buku itu, BJ Habibie antara lain mengungkapkan kondisi menjelang Soeharto lengser dari kursi presiden. Berikut cuplikan sebagian isi buku itu untuk mengenang jejak langkah Habibie di awal masa reformasi.
BJ Habibie gagal melaporkan hasil sidang ad hoc terbatas Kabinet Pembangunan VII kepada Presiden Soeharto, pada 20 Mei 1998 malam, melalui sambungan telepon.
"Sangat saya sayangkan bahwa Pak Harto ketika itu tidak berkenan berbicara dengan saya," kata BJ Habibie dalam buku Detik-detik yang Menentukan.
Soeharto hanya menugasi Menteri Sekretaris Negara Saadilah Mursyid untuk menyampaikan keputusan, esok harinya, pukul 10.00, bahwa ia akan mundur sebagai presiden.
Sesuai dengan UUD 1945, Soeharto berniat menyerahkan kekuasaan dan tanggung jawab kepada BJ Habibie sebagai Wakil Presiden RI, di Istana Merdeka.

• Kisah Habibie di Pengujung Kekuasaan Soeharto (2), Berdebat Keras Soal Menteri Kabinet Reformasi
• Pengusulan Nama BJ Habibie untuk Bandara Kertajati, Ridwan Kamil akan Bicarakan dengan DPRD
"Saya sangat terkejut dan meminta agar segera dapat berbicara dengan Pak Harto. Permintaan tersebut tidak dapat dikabulkan. Ajudan Presiden menyatakan akan diusahakan pertemuan empat mata dengan Pak Harto di Cendana besok pagi sebelum ke Istana Merdeka," ujar BJ Habibie.
Setelah pembicaraan melalui telepon dengan Saadilah selesai, Habibie kembali ke pendopo untuk menjelaskan informasi itu kepada para menteri yang hadir saat itu. Semua terkejut mendengar berita tersebut.
Setelah rapat bubar, BJ Habibie masuk ke ruang kerja dan memantau perkembangan gerakan masyarakat, khususnya di Jakarta, dan reaksi luar negeri terhadap situasi di Indonesia yang terus memanas.
Ajudan yang bertugas, Kolonel (AL) Djuhana melaporkan Panglima ABRI Jenderal Wiranto mohon waktu untuk bertemu. Habibie saat itu belum bersedia menerima siapa pun.
Habibie terus asyik di ruang kerjanya sampai terdengar suara dari ruangan yang gelap, "Pak Habibie, sudah hampir pukul 04.00, Bapak belum tidur dan belum beristirahat, sementara acara Bapak sudah mulai pukul 07.00. Mohon Bapak beristirahat sejenak."
Ruangannya sangat gelap karena tidak ada lampu yang menyala kecuali sinar monitor komputer. "Siapa yang berbicara?" tanya BJ Habibie. "Siap, Kolonel Hasanuddin, ADC (ajudan) Bapak," sambil menyinari wajahnya dengan lampu senter.
"Mengapa Kolonel belum tidur?" kata Habibie. "Siap, lagi dinas dan mohon Bapak istirahat sejenak," kata Hasanuddin.

• Sidarta Tak Pernah Melupakan Sentuhan BJ Habibie, Dijenguk saat Anak Sakit dan Diberi Uang Berobat
• Mantan Presiden Timor Leste Xanana Gusmao Tak Sempat Jenguk BJ Habibie Tapi Tulis Surat, Ini Isinya
Setelah satu jam tidur, BJ Habibie bangun untuk salat Subuh, kemudian mandi dan kembali ruang kerja untuk memantau pergerakan massa melalui internet dan siaran televisi.