Tingkatkan Publikasi Penelitian, Universitas Muhammadiyah Bandung & Kemenristekdikti Gelar Diskusi
Prof. Deden Rukamana mengatakan, publikasi ilmiah internasional adalah salah satu cara agar ilmuwan Indonesia bisa masuk ke jantung ilmu pengetahuan.
Penulis: Cipta Permana | Editor: Dedy Herdiana
Laporan Wartawan Tribun Jabar, Cipta Permana
TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Minimnya jumlah capaian publikasi jurnal penelitian bereputasi internasional yang dihasilkan para dosen atau akademisi di tanah air, mendorong Universitas Muhammadiyah Bandung bersama Direktorat Jenderal Sumber Daya Iptek dan Dikti Kemenristekdikti untuk menggelar kegiatan simposium dan diskusi bertajuk "Strategies for Writing and Publishing Qualified International Journals" di Kampus baru Universitas Muhammadiyah Bandung, Jalan Soekarno-Hatta, Bandung, Kamis (22/8/2019).
Dalam kegiatan tersebut, turut menghadirkan sejumlah pembicara, yaitu Professor and Chairperson of the Department of Community and Regional Planning, Alabama A&M University yang juga menjabat sebagai Ketua Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional, Prof. Deden Rukmana MPDS, Ph.D; Nanyang Technological University, Singapura, Dr. Mahardhika Pratama; dan Ball State University Muncie Indiana, Amerika Serikat, Dr. Irianti Usman Natanegara, MA.
Prof. Deden Rukamana mengatakan, publikasi ilmiah internasional adalah salah satu cara agar ilmuwan Indonesia bisa masuk ke jantung ilmu pengetahuan. Pada akhirnya, upaya tersebut akan meningkatkan sumber daya manusia pendidikan tinggi. Oleh karena itu, Indonesia perlu memperbaiki sistem manajemen riset.
• RumahDiskusi.id Inisiasi Penyediaan Diskusi Daring untuk Guru dan Siswa
Perbaikan tersebut, tidak hanya berkaitan soal pendanaan, tetapi juga cara kerja riset agar lebih efektif dalam menghasilkan riset yang berkualitas. Terlebih saat ini dana riset Indonesia sekitar 80 persennya masih mengandalkan bantuan dari pemerintah, sebab belum banyaknya industri maupun lembaga yang mau mengalokasikan dana untuk kegiatan penelitian.
"Perbandingan jumlah peneliti dengan jumlah penduduk Indonesia masih sangat kecil. Begitu juga dengan besar anggaran penelitian yang juga kecil, padahal hasil sebuah penelitian dapat berdampak luas dan dirasakan langsung oleh semua pihak," ujarnya.
Oleh karenanya, merupakan kewajiban dari seluruh dosen atau akademisi untuk mempunyai publikasi ilmiah yang terindeks Scopus. Hal ini juga menurutnya, sebagai salah satu cara agar para peneliti Indonesia tidak terjebak pada predstory publisher atau jurnal ptedator yang hanya mementingkan keuntungan bagi penerbit semata, sehingga konsekuensinya adanaya biaya yang harus ditanggung oleh peneliti untuk bisa menjangkau Scopus tersebut.
"Sebaiknya beban biayanya jangan dibebankan ke dosen atau penelitinya. Jika memang Kemenristekdikti memiliki anggaran untuk hal itu, para peneliti dapat mengajukan permohonan untuk pembiayaan penelitiannya," ucapnya.
• ITB Empat Kali Kampus Terbaik Nomor 1 Versi Kemenristekdikti, UPI, IPB, dan Unpad Peringkat Berapa?
Prof. Deden pun menambahkan, meskipun menjadi keharusan bagi setiap dosen atau akademisi untuk menghasilkan sebuah karya penelitian, namun tuntutan publikasi ilmiah internasional sebaiknya tidak dipukul rata bagi semua perguruan tinggi. Mengingat tidak semua perguruan tinggi memiliki fokus sebagai research university.
"Kita tidak bisa mengharapkan semua 4.700 perguruan tinggi bisa publikasi Scopus semua. Bisa dibagi, yang ini cukup akreditasi nasional, dan sebagainya. Jangan pukul rata. Di Amerika juga begitu. Ada yang wajib satu, ada yang wajib empat," ujar Deden.
Hal senada disampaikan oleh, Pengajar dan peneliti di Nanyang Technological University (NTU) Singapura, Dr. Mahardika Pratama. Menurutnya, selain soal publikasi ilmiah, hal lain yang penting untuk diperhatikan adalah dampak dari penelitian tersebut, yang dapat bermanfaat bagi adanya sebuah permasalahan.
"Publikasi satu hal penting, tapi impact juga penting. Kalau melakukan riset, maka hasilnya harus bisa menyelesaikan permasalahan yang ada," ujarnya di lokasi yang sama.
Dirinya pun membandingkan, kondisi di NTU dan di Indonesia, dimana di sana banyak keterlibatan industri dalam hal penelitian. Sebab penelitian yang dikembangkan diharapakan mampu menjawab persoalan yang dihadapi industri tersebut, melalui penerapan teori ilmiah yang dikontribusikan oleh para peneliti.
Sehingga, meskipun publikasi penelitian hanyalah alat untuk membagi ide peneliti. Namun jika penelitian yang dilakukan itu berkualitas maka publikasi akan datang sendiri.
"Begitu juga dengan industri, mereka datang karena percaya. Kepercayaan itu hadir karena adanya penelitian yang berkualitas. Maka kalau penelitian bagus dipastikan industri akan datang," ucapnya.
Mahardika mengatakan, salah satu kelemahan penelitian di Indonesia terletak pada tidak adanya tenaga riset yang membantu para peneliti. Di Indonesia peran dosen sudah disibukkan dengan kewajiban kegiatan mengajar, selain ia juga dituntut untuk harus melakukan riset dan semua keperluan administrasinya.
Sedangkan sistem di NTU, lanjutnya para peneliti di sana hanya fokus pada riset penelitiannya, dan tidak disibukan dengan mengurusi administrasi, karena sistem pengajaran perkuliahan yang diterapkan telah dirancang secara efektif, salah satunya mekanisme perkuliahan dengan modul dan dilakukan bersama beberapa dosen, termasuk juga dalam hal pengelolaan laboratorium.
"Di sana lecture atau pengajaran paling hanya dua jam saja, sehingga dosen punya waktu untuk mengerjakan penelitian. Apalagi
semua dana riset masuk ke universitas, maka peneliti bisa mempekerjakan tenaga riset yang dikontrak formal yang memiliki tugas membantu berlangsungnya proses penelitian sampai selesai. Oleh karena itu tidak heran kalau dana penelitian itu 80 persennya habis untuk pendanaan manpower (SDM), dan para dosen bisa produktif melakukan penelitian dan menulis publikasi ilmiah," katanya.
Sementara itu, Rektor Universitas Muhammadiyah Bandung, Suyatno mengatakan, dilaksanakannya kegiatan ini
bertujuan untuk meningkatkan kemampuan teknik dan strategi dari sivitas akademika di perguruan tinggi, dalam hal penulisan publikasi jurnal bereputasi, dengan
mempertemukan akademisi dari luar dan dalam negeri untuk dapat berkolaborasi dan menghasilkan karya bagi peningkatan mutu sumber daya manusia juga daya saing bangsa.
Sehingga tantangannya saat ini, bagaimana agar setiap dosen memiliki kemauan dan kemapuan untuk dapat melakukan penelitian.
"Riset itu tidak mudah. Kita harus punya kekuatan. Bagaimana menumbuhkan budaya akademik di setiap diri dosen itu yang masih menjadi PR kita bersama. Sebab motivasi untuk melakukan sebuah penelitian baru akan tumbuh, jika para dosen mempunyai kultur akademis dalam hal adanya semangat melakukan riset yang sama," katanya. (cipta permana).
• 15 Universitas Terbaik di Jawa Barat Versi Kemenristekdikti, Kampus Negeri Hingga Swasta
• Tiga Belas Prodi di Unisba Berhasil Raih Prestasi Akreditasi Internasional ASIC