Mengenal Desa Wisata Kopi Cibeureum di Kuningan Jawa Barat, Kebunnya Luas Rasa Kopinya Unik
Tepat di depan balai desa, kita akan melihat sebuah gang besar bertuliskan "Selamat Datang di Desa Wisata Kopi Cibeureum ".
Penulis: Siti Masithoh | Editor: Ichsan
Laporan Wartawan Tribun Jabar, Siti Masithoh
TRIBUNJABAR.ID, KUNINGAN - Pagi hari umumnya orang beraktivitas untuk mengawali hari, jalanan sudah ramai dengan kendaraan yang melintas. Begitu pula dengan warga di Desa Cibeureum, Kecamatan Cilimus, Kabupaten Kuningan.
Tepat di depan balai desa, kita akan melihat sebuah gang besar bertuliskan "Selamat Datang di Desa Wisata Kopi Cibeureum ". Di sana banyak warganya yang terbiasa menanam kopi.
Kopi yang menjadi salah satu ikon di Indonesia ini juga bisa kita temukan di Desa Cibeureum. Jenis kopi robusta dari desa ini mulai tercium ke berbagai penjuru Indonesia. Bahkan, tak sedikit pula para pelajar yang hendak belajar menanam kopi dengan petani di sana.
Mendengar Kopi Cibeureum lekat pula dengan nama Pak Komala (52), seorang petani kopi di Desa Cibeureum yang mengawali petik biji ketika panen.
Namanya kian tersohor di kalangan pecinta kopi, khususnya di wilayah III Cirebon. Setiap paginya, menempuh jarak sekitar tiga kilometer, Komala berangkat ke kebun kopi miliknya menggunakan sepeda motor.
Dia berhenti di tempat pengeringan kopi dan memarkirkan motornya. Dari situ dia berjalan kaki ke kebun sekitar lima kilometer. Sepanjang perjalanan menuju kebunnya, terdapat hamparan pohon kopi yang sangat luas.
Teduh dan sejuk sepanjang perjalanan menuju kebunnya, membuat setiap langkah kaki tak terasa capek. Suara kumbang sangat nyaring di sepanjang kebun. Ada pula saluran air yang mengalir dan sangat jernih.
Saking banyaknya pohon kopi, sesekali kita harus berjalan membungkuk. Hampir setiap kopi, sudah berbuah. Di sana ada beberapa petani yang sedang berkebun.
Saat tiba di kebun milik Komala, kita akan sangat takjub melihat hamparan kebun kopi yang luas dan sudah berbuah lebat.
Komala menyebutkan, sekitar 150 petani kopi yang ada di Desa Cibeureum, rata-rata memiliki 1.400 meter persegi yang dikelola secara besar oleh masing-masing petani.
"Kalau di sini tanahnya hak milik petani. Rata-rata petani biasanya punya 100 bata atau 1.400 meter persegi. Saya sendiri memiliki sekitar 400 bata. Biasanya kami mengolahnya sendiri, paling sesekali mengunakan jasa orang lain untuk sekadar membantu," kata Komala kepada Tribun Jabar, Senin (22/4/2019).
• 422 Siswa SMPN 2 Garut Ikuti UNBK, Dibagi Tiga Sesi karena Komputernya Hanya 160 Unit
Sambil membersihkan rumput di kebunnya, Komala menceritakan awal mula tersohornya Kopi Cibeureum. Menurutnya, Kopi Cibeureum mulai dikenal para pecinta kopi pada tahun 1985.
Saat itu, banyak warga yang bertransmigrasi ke Lampung dan memanam kopi di sana. Mereka sukses menanam kopi dengan hasil yang cukup memuaskan.
Dari situlah, warga memutuskan untuk kembali ke Desa Cibeureum sekitar tahun 1990 dan memanam kopi di desanya. Barulah Kopi Cibeureum mulai banyak dikenal orang.
"Dulu belum sebanyak ini kopinya. Baru beberapa petani pula yang menanam," kata Komala.
Setelah kopi mulai melejit beberapa tahun ini, Kopi Cibereum sangat disohor mulai tahun 2015. Dimulai dari kegigihan dan ketekunannya, perlahan-lahan kopinya mulai banyak dilirik oleh para pecinta kopi, mulai dari kaum milenial hingga kalangan orangtua.
Bahkan, banyak petani kopi yang mulai percaya diri untuk menanam kopi dan meyakini keuntungan yang akan diraupnya.
"Dulu kopi juga sempat diragukan oleh banyak petani karena melihat saya panen mulai dari petik biji. Melihat prosesnya yang panjang dan lama, banyak yang tidak meyakini keuntungannya," kata dia.
Awal mula menekuni kopi, Komala baru memulai dengan keluarganya dan belum banyak mengajak petani yang lain. Pertimbangannya, Komala ingin melihat terlebih dahulu pasar kopi.
"Saya tidak ingin ketika pasarnya tidak menjanjikan, petani lainnya akan merasa dirugikan. Makanya saya coba sendiri dulu dengan keluarga. Tahun kedua, barulah mengajak saudara, dan tahun ketiga ada sebuah bank yang memberikan bantuan kepada petani dan memberi nama desa wisata kopi tersebut," ujar Komala.
Ia menambahkan, awal mula memperkenalkan kopi robusta Cibreurem, ia sempat pesimis saat mengikuti pameran.
Pasalnya, lebih banyak jenis arabika yang banyak dikenal masyarakat. Jenis arabika juga lebih dulu banyak dipasarkan dalam pameran.
"Sampai sekarang pun bisa dibilang belum terlalu banyak mengajak petani lainnya, karena melihat pasarnya dulu," ucapnya.
Perlahan-lahan, Komala mulai optimis memperkenalkan Kopi Cibeureum. Dia meyakini, cita rasa kopinya tak kalah enak dengan daerah lainnya.
Sering pula dirinya mengikuti berbagai pameran dan kopinya mulai banyak dikenal.
"Salah seorang pecinta kopi dari Amerika, menilai kopi kami ini nilainya excellent (luar biasa). Saya makin yakin dan berpikir kenapa tidak kopi robusta dimunculkan," katanya.
Dalam setahun, Komala dapat memetik biji sebanyak tiga kali pada bulan Juni, Juli, dan Agustus. Setiap bulannya, dia bisa menjual puluhan kilogram kopi. Perkilogram, Kopi Cibeureum dibanderol Rp 60 ribu.
• Untuk Warga Kota Bandung Mobil SIM Keliling Ada di Lokasi Ini, Nih Persyaratannya
Kopi hasil panennya rata-rata dijual ke wilayah III Cirebon, Jakarta, dan Bandung.
"Alhamdulillah responnya baik. Belum sampai panen lagi kami sudah kehabisan kopi," katanya.
Komala memiliki banyak kopi warisan orang tuanya yang sudah berusia sekitar 30 tahunan.
"Kata orang itu rasa Kopi Cibeureum ada nutty, aroma gula merah, dan ketika dingin rasanya ada sedikit asam," kata dia.
Terus melejitnya Kopi Cibeureum, istinya, Euis Sarida (42), mulai membuat banyak olahan makanan dari kopi, di antaranya dodol, sistik dan akar kelapa.
Ibu dari tiga orang anak itu membuat olahan makanan dari kopi dengan Kelompok Wanita Tani (KWT). Satu bungkusnya dibanderol Rp 15 ribu hingga Rp 20 ribu.