Strategi Jitu Soeharto Bebaskan Papua, Diangkat Panglima Mandala saat Ibu Tien Mengandung Tommy
Soeharto membuat strategi jitu untuk merebut Irian Barat, kini Papua, dari tangan Belanda. Soekarno memberi tugas itu saat Ibu Tien hamil 3 bulan.
Namun ia berkeras dan sekali lagi menegaskan bahwa pasukan khusus tersebut bisa bertempur dalam kondisi ektrem dan mengikat pasukan musuh untuk waktu lama di tempat-tempat yang terpisah.
Soeharto sebenarnya pernah diperintahkan utuk mengebom sebuah kapal Belanda demi sebuah misi politik oleh Mohammad Yamin dann Presiden Soekarno.
Namun Soeharto menolak karena hal itu bisa meningkatkan kewaspadaan Belanda dan membuat siasat perangnya kocar-kacir.
Kemugkinan besar kapal perang yang menjadi target untuk ditenggelamkan adalah kapal induk HNLMS Karel Doorman.
Pesawat khusus untuk menghantam Karel Doorman, yakni enam Tu-16/KS memang telah disiapkan.
Tapi selama melaksanakan terbang patroli, pesawat-pesawat tempur pengintai AURI belum pernah menemukan Karel Doorman saat berlayar hingga konflik Irian Barat usai.
Akibatnya armada Tu-16/KS pun gagal menenggelamkan Karel Doorman.
Sebagai pukulan penutup, Soeharto menyiapkan operasi amfibi gabungan yang diberi nama Operasi Djajawidjaja.
Baca Juga : Penembakan 31 Pekerja di Jalur Trans Papua Buktikan Jokowi 'Nekat' saat Pilih Kendarai Motor Trail untuk Lintasi Jalur Tersebut
Sasaran utama operasi ini adalah Biak yang merupakan jantung pertahanan Belanda.
Jika Operasi Djajawidjaja berhhasil digelar, ini akan merupakan operasi pendaratan amfibi besar-besaran dan sekaligus perang besar yag berlarut-larut.
Korban besar pun diperkirakan akan jatuh mengingat Pantai Biak dipertahankan oleh marinir Belanda yag sudah memiliki pengalaman tempur.
Pukulan terakhir ini harus benar-benar berhasil dan telak karena, ujar Soeharto, “Kita tidak punya pasukan cadagan lagi!”
• Jejak Egianus Kogoya, Pemimpin KKB yang Menghabisi 31 Pekerja Proyek Jalan di Papua
• Fakta-fakta Penembakan 31 Pekerja Oleh KKB di Nduga Papua, Kapolres Jayawijaya Beberkan Pemicunya
Soeharto mengharapkan tanggal 12 Agustus 1962. Biak sudah harus bisa dikuasai.
Untuk itu ia menghitung mundur mulai H-8 demi menggerakkan seluruh pasukannya menuju tempat rendezvouz di Teluk Peleng, Kepulauan Banggai.