Guru Besar FK Unpad Temukan Cara untuk Mengurangi Risiko Kematian pada Penderita Meningitis TBC

Sifat dari selaput otak itu sangat susah dilewati obat. Hanya 10 persen yang bisa menembus selaput otak

Penulis: Syarif Pulloh Anwari | Editor: Tarsisius Sutomonaio
Tribun Jabar/Syarif Pulloh Anwari
Guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Prof. Rovina Ruslami, dr, SpPD, PhD, (kedua dari kiri), saat menjadi pembicara dalam diskusi Riung Karsa bertajuk “Tantangan Pengobatan TBC pada Selaput Otak” di Taman Bale Rumawat Kampus Unpad, Jalan Dipati Ukur, Kota Bandung, Jumat (3/8/2018). 

Laporan Wartawan Tribun Jabar, Resi Siti Jubaedah

TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG- Prof. Rovina Ruslami, dr., Sp.PD., Ph.D bersama tim penelitinya menemukan cara untuk menekan kematian pada penderita meningitis TB.

Cara yang dimaksud adalah menambah dosis penggunaan obat rifampisin pada penderita meningitis TB.

Menurutnya, selama ini, pengobatan meningitis TB mengacu pada aturan pengobatan TB paru-paru. Itu karena belum ada dasar penelitian mengenai pengobatan meningitis TB secara global.

Padahal TB paru-paru dengan meningitis TBC berbeda. Meningitis TBC yakni TB yang menyerang selaput otak, lebih berbahaya dibanding TB yang menyerang paru-paru.

Data menunjukkan, dari 10 pengidap meningitis TB, sebanyak 5 hingga 7 jiwa tidak dapat terselamatkan.

Mayat Bayi Laki-Laki Ditemukan Pemulung di Sungai Cimahi, Tali Ari-ari Masih Menempel di Tubuhnya

Update Gempa Lombok - Korban Meninggal Mencapai 91 Orang, Ribuan Rumah Rusak

Atas dasar itulah Prof. Rovina melakukan riset selama bertahun-tahun dengan tim risetnya.

"Sifat dari selaput otak itu sangat susah dilewati obat. Hanya 10 persen yang bisa menembus selaput otak. Kalau dia cukup dosisnya di paru-paru, jelas tidak cukup untuk di otak,” ujar Guru besar bidang Ilmu Farmakologi dan Terapi itu pada acara Riung Karsa Unpad di Taman Bale Rumawat Unpad, Jalan Dipati Ukur No. 35, Bandung, Jumat (3/8/2018).

Berdasarkan kasus sedikitnya obat yang bisa menembus selaput otak, Prof. Rovina mengeksplorasi peningkatan dosis rifampisin pada penderita meningitis TB.

Tentunya, proses eksplorasi ini dilakukan kajian yang mendalam dan hati-hati, mengingat proses uji klinik ini melibatkan manusia selama kurang lebih 8 tahun.


Pemberian rifampisin dilakukan dengan cara injeksi melalui infus, karena seluruh pasien meningitis TB hampir dipastikan berada dalan kondisi tidak sadar.

Prof. Rovina menuturkan, peningkatan dosis rifampisin ternyata tidak menimbulkan efek samping yang signifikan. Hasil penelitiannya, efek samping pasien yang mendapat rifampisin dosis tinggi ternyata sama dengan orang yang dapat dosis biasa.

Dalam waktu dekat, Prof. Rovina bersama tim peneliti dan anggota konsorium Meningitis TBC internasional akan melakukan penelitian tahap akhir yang berskala besar, dengan dasar penelitian yang dilakukan di Bandung.

Penelitian tahap terakhir ini akan melibatkan lima negara, yaitu Uganda, Afrika Selatan, Belanda, Amerika, dan Indonesia. (*)

Sumber: Tribun Jabar
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved