Curhat Supir Angkot Soal Feeder Metro Jabar Trans di Bandung: Cari Penumpang Saja Sudah Susah

Sebagian dari mereka menilai program transportasi baru berbasis digital itu membawa perubahan besar dalam sistem transportasi perkotaan.

tribunjabar.id / Putri Puspita Nilawati
Suasana Terminal Stasiun Hall, Kota Bandung, yang sepi penumpang, Senin (6/10/2025). 

Laporan Wartawan Tribun Jabar, Putri Puspita

TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Program Feeder Metro Jabar Trans (MJT) yang mulai diuji coba di Kota Bandung memunculkan beragam tanggapan dari para pengemudi angkutan kota (angkot). 

Sebagian dari mereka menilai program transportasi baru berbasis digital itu membawa perubahan besar dalam sistem transportasi perkotaan, namun juga menimbulkan kekhawatiran soal keberlangsungan angkutan konvensional.

Ade, salah satu sopir angkot trayek Gedebage–Stasiun Hall Bandung yang sudah mengemudi sejak tahun 1997, mengaku sudah mendengar soal keberadaan feeder Metro Jabar Trans. 

Ia pun beberapa kali bertemu dan melewati jalur yang bersamaan.

Meski begitu, ia mengaku masih berpikir-pikir soal dampaknya terhadap mata pencahariannya.

“Menurut saya, ya kalau di pikir-pikir mah sama aja. Cuma kan itu masalah ongkos, sekarang pakai barcode. Penumpangnya juga bayarnya pakai barcode. Adanya angkot aja udah susah (penumpang), apalagi kalau ada yang baru,” ujarnya saat ditemui di terminal St Hall, Senin (6/10/2025).

Ade menilai, kebijakan digitalisasi sistem pembayaran bisa menjadi kendala bagi sebagian penumpang dan sopir yang belum terbiasa. 

Namun, ia juga memahami bahwa program ini merupakan kebijakan baru dari pemerintah yang mau tidak mau harus dijalankan.

“Mungkin aturan pemerintah harus gitu ya,  baru pemerintah harus gitu, apa adanya saya terima,” katanya pasrah.

Meski mengaku tidak terlalu terganggu secara langsung dengan keberadaan feeder, Ade menilai persaingan penumpang semakin ketat. 

“Sekarang saja sudah susah, sudah banyak mobil pribadi, motor pribadi, sama ojek online. Jalur Gedebage–Stasiun aja yang dulu rame, sekarang paling dapet Rp12.000 per orang, padahal harusnya Rp15.000,” ujarnya.

Ia menyebutkan bahwa jumlah angkot di trayeknya kini menyusut drastis. 

“Dulu dari 210 unit, sekarang tinggal 50 unit, turunnya sampai 75 persen. Sekarang mah mikirin juga nasib anak istri di kampung,” ucapnya lirih.

Sopir yang telah melintasi jalanan Kota Bandung sejak era 1990-an itu juga menilai bahwa sebelum program feeder diterapkan, seharusnya ada sosialisasi yang lebih jelas kepada para pengemudi angkot.

Sumber: Tribun Jabar
Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved