Bukan Cari Perhatian, Tapi Minta Tolong! Kenali 5 Perubahan Sikap Remaja Korban Perundungan
Ledakan yang terjadi di SMA Negeri 72 Jakarta Utara diduga dilakukan oleh siswa korban bullying.
Penulis: Putri Puspita Nilawati | Editor: Ravianto
Ringkasan Berita:
- Perubahan Sikap Drastis: Anak tiba-tiba menjadi pendiam, menarik diri dari teman dan keluarga.
- Penolakan Sekolah/Aktivitas: Muncul keengganan untuk sekolah, sering pura-pura sakit, atau mendadak menjadi sangat malas belajar.
- Kondisi Emosi Tidak Stabil: Anak menjadi sangat sensitif, mudah marah, atau menangis tanpa ada alasan yang jelas.
- Gangguan Fisik/Verbal: Mengucapkan kata-kata singkat seperti "aku capek", "aku enggak kuat", atau "hidupku enggak berarti".
TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Ledakan yang terjadi di SMA Negeri 72 Jakarta Utara diduga dilakukan oleh siswa korban bullying. Hal ini membuat masyarakat lebih peka soal kesehatan mental remaja.
Psikolog Miryam A. Sigarlaki, M.Psi., menegaskan bahwa tanda-tanda anak atau remaja yang tidak lagi sanggup menahan tekanan akibat perundungan sebenarnya bisa dikenali sejak awal.
“Bisa jadi tanda-tanda sebenarnya terlihat dari perubahan sikap. Perubahan itu bisa berupa anak yang tiba-tiba menjadi pendiam atau menarik diri dari teman dan keluarga," kata Miryam saat dihubungi, Sabtu (8/11/2025).
Bisa juga misalnya anak kenapa jadi nggak mau sekolah, sering pura-pura sakit, atau mendadak malas belajar.
"Dalam kondisi psikologis lain, anak juga jadi mudah marah, sensitif, atau menangis tanpa alasan yang jelas."
Baca juga: Bukan Tiba-tiba, Psikolog Sebut Ledakan di SMA 72 Emotional Outburst: Hasil Luka Batin yang Menumpuk
Dosen Fakultas Psikologi Unjani ini pun menyebutkan selain gangguan tidur, perubahan pola makan, atau ucapan singkat seperti ‘aku capek’, ‘aku enggak kuat’, atau ‘hidupku enggak berarti’ juga perlu diwaspadai.
“Kalau tanda-tanda ini mulai muncul, inilah saatnya orang tua atau guru tidak hanya menegur, tapi mulai mendengarkan dan memeluk dengan empati. Anak jangan dulu dihakimi, justru harus didengerin dulu, mereka butuh dirangkul,” ujar Miryam.
Menurut Miryam, peran sekolah dan keluarga sangat besar dalam mendeteksi perubahan emosi anak sebelum sampai pada titik berbahaya.
“Anak menghabiskan sebagian besar hidupnya di dua tempat, di rumah dan di sekolah. Jadi, keduanya harus berkolaborasi. Di sekolah, guru dan konselor perlu punya kepekaan untuk melihat perubahan perilaku siswa,” katanya.
Ia menegaskan bahwa anak yang bermasalah bukan sedang mencari perhatian, melainkan sedang meminta pertolongan.
“Kadang anak yang bermasalah sebenarnya sedang berteriak lewat sikapnya. Bukan mencari perhatian tapi minta pertolongan. Cara mereka minta tolong itu beda, bukan bilang ‘help me’, tapi lewat perilakunya,” kata Miryam.
Sementara itu di rumah, orang tua harus menjadi tempat paling aman untuk bercerita.
“Kadang orang tua merasa lebih tahu, lebih berpengalaman, sehingga saat anak mau curhat sedikit dan terlihat salah, kita langsung men-judge. Padahal seharusnya dirangkul dulu, didengar dulu,” ujarnya.
Miryam yang merupakan mahasiswi S3 Fakultas Psikologi Unpad pun menambahkan, komunikasi di rumah sebaiknya tidak hanya berputar pada nilai atau tugas sekolah.
“Orang tua juga harus menanyakan perasaan anak, seperti ‘hari ini kamu senang nggak di sekolah?’ atau ‘gimana perasaan kamu hari ini?’. Kalau sekolah dan keluarga saling terhubung, tanda-tanda stres emosional ini bisa dikenal lebih awal, bisa dikendalikan, bisa dicegah sebelum jadi permasalahan besar,” jelasnya.
Terkait proses pemulihan bagi remaja korban bullying, Chief Operating Operation (COO) Jatidiri App ini menekankan bahwa penyembuhan mental tidak bisa dilakukan secara instan.
“Pemulihan ini butuh proses, butuh waktu, dan yang terpenting adalah dukungan. Langkah pertama adalah membuat remaja merasa aman dan diterima apa adanya,” katanya.
Setelah itu, remaja bisa mulai menata emosi dengan bantuan pihak yang dipercaya.
“Bisa dengan guru, psikolog, atau orang dewasa yang dipercaya. Proses penyembuhan bisa lewat terapi, bercerita, menulis jurnal, olahraga, atau kegiatan sosial yang membuat mereka merasa berdaya kembali,” ujar Miryam.
Ia menegaskan, luka emosional tidak bisa dihapus hanya dengan waktu.
“Yang paling penting, jangan suruh mereka melupakan begitu saja. Luka emosional tidak hilang dengan waktu."
"Luka itu sembuh karena diterima dan dirawat. Dengan pendampingan yang tepat, mereka bisa belajar bahwa rasa sakit itu bisa diubah menjadi kekuatan,” katanya.
Lebih lanjut, Miryam menjelaskan pentingnya membangun komunikasi yang aman di rumah agar anak merasa didengar sebelum rasa sakit menumpuk.
“Kunci utamanya adalah mendengarkan dengan hati, bukan hanya dengan telinga. Active listening dengan empati, artinya kita mencoba merasakan dari sudut pandang si anak, bukan dari POV orang tua,” ujarnya.
Banyak anak sebenarnya ingin bercerita, tapi takut disalahkan atau diremehkan.
“Maka keluarga perlu menciptakan suasana di mana anak boleh marah, boleh sedih, atau kecewa tanpa takut dihakimi. Biasanya kita bilang, ‘ah, gitu aja marah’, ‘gitu aja takut’. Padahal itu justru menutup ruang anak untuk bercerita,” kata Miryam.
Menurutnya, orang tua dapat menunjukkan empati melalui kata-kata sederhana.
“Kita bisa bilang, ‘Mama paham kamu lagi sedih, kamu boleh cerita kapan aja, mama siap dengar’. Atau memberi apresiasi, ‘Terima kasih sudah berani cerita’. Itu kecil tapi penting,” ujarnya.
Ia juga menyarankan agar keluarga membiasakan momen obrolan ringan setiap hari, misalnya saat makan malam atau sebelum tidur.
“Hubungan emosional itu tidak dibangun dari nasihat panjang, tapi dari rasa kehadiran dan penerimaan yang konsisten,” katanya.
Miryam menegaskan bahwa kasus ini menjadi pengingat bahwa bullying bukan sekadar masalah disiplin sekolah, tapi persoalan kesehatan mental dan empati sosial.
“Setiap anak punya ambang emosi yang berbeda. Karena itu penting bagi keluarga dan sekolah untuk menjadi tempat pertama anak merasa aman dan didengar, bukan tempat di mana mereka takut untuk menjadi diri sendiri,” tegasnya.(*)
Laporan Wartawan Tribun Jabar, Putri Puspita
| Bukan Tiba-tiba, Psikolog Sebut Ledakan di SMA 72 Emotional Outburst: Hasil Luka Batin yang Menumpuk |
|
|---|
| Isi Surat Bikin Haru, AK Siswi MTs Sukabumi Curhat Nama-nama Teman Baik di Tengah Derita Dirundung |
|
|---|
| Kondisi Siswa Korban Bullying Kakak Kelas di SMPN 1 Tambun Bekasi, Ditangani Dinas Perlindungan Anak |
|
|---|
| Bocah SMP di Grobogan yang Tewas di Sekolah Ternyata Orangtuanya di Cianjur, Ini Hasil Autopsinya |
|
|---|
| Perkembangan Kasus Siswa SMK di Cikarang Rahang Patah Usai Keroyok Kakak Kelas, Kepsek Buka Suara |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/jabar/foto/bank/originals/ledakan-di-sman-72.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.