Membangun Identitas Baru Angklung Lewat Persembahan Genderang Angklung Nusantara di ISBI Bandung

Komunitas SORA mempersembahkan Genderang Angklung Nusantara: Spirit of The Nation sebuah rangkaian kegiatan budaya

Penulis: Nappisah | Editor: Seli Andina Miranti
Tribun Jabar/ Nappisah
KONSER ANGKLUNG - Penampilan Konser Genderang Angklung Nusantara yang digagas Sound of Heritage (Sora) di Isbi Bandung, Minggu (3/8/2025) malam. 

Laporan Wartawan Tribun Jabar, Nappisah

TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Cahaya merah menyapu panggung, memperlihatkan puluhan pemain angklung dalam balutan kebaya dan kain tradisional yang anggun. Di bawah sorotan lampu teatrikal dan iringansuara angklung menggema merdu di Aula ISBI Bandung, Kota Bandung, Minggu (3/8/2025) malam. 

Di tengah gemuruh irama yang naik-turun, penonton larut dalam alunan nada. Beberapa merekam momen tersebut dengan ponsel. 

Dalam perjalanannya sebagai bagian dari identitas budaya Indonesia, angklung kini memasuki fase baru dari sekadar dimainkan, menjadi diciptakan dan dipersembahkan sebagai karya musikal yang orisinal dan bernilai.

Baca juga: Jalan Panjang Angklung Angkot Pintar Made In Bandung Sebelum Mengaspal, Akan Diuji Lewati Banjir

Semangat inilah yang menjadi landasan Komunitas SORA (Sound of Heritage) dalam mempersembahkan Genderang Angklung Nusantara: Spirit of The Nation sebuah rangkaian kegiatan budaya yang menandai satu dekade perjuangan komunitas ini dalam membangun ekosistem kekaryaan musik angklung.

Menurut Eris Nugraha, konseptor program Genderang Angklung Nusantara, krisis utama dalam dunia angklung bukan pada jumlah pemain, tapi pada minimnya pencipta. 

“Selama ini kita terbiasa dengan aransemen itu baik, tapi tidak cukup. Kita perlu loncatan menciptakan karya asli, bukan hanya memainkan milik orang lain,” ujarnya saat ditemui di ISBI Bandung, Minggu (3/8/2025) malam. 

Untuk menjawab kebutuhan itu, SORA menggelar Lomba Cipta Karya Musik Angklung Tingkat Nasional lomba pertama di Indonesia yang tidak hanya menilai permainan angklung, tetapi juga penciptaan musiknya. 

Pihaknya pun menyediakan tiga kali workshop bagi peserta, mulai dari penyusunan struktur musik hingga pemahaman kekayaan musikal angklung

“Kami tidak ingin peserta hanya ikut-ikutan. Mereka dibekali dulu, diajak berpikir, belajar, lalu berkarya,” jelas Eris.

Eris menjelaskan bahwa karya terbaik dari lomba didorong mendapatkan hak cipta dan dipublikasikan sebagai bagian dari katalog nasional. 

"Supaya ke depan angklung di next level bisa punya karya sendiri, punya karya original sendiri, dimainkan sendiri dan dihargai oleh dunia," imbuhnya.

Sebagai salah satu juri dan komposer muda yang terlibat, Whayan Christiana menilai bahwa kualitas peserta dalam lomba ini sudah mencerminkan masa depan cerah bagi musik angklung.

Baca juga: Angklung Menggema dalam Resital Nasional 2025 di Bandung: Harmoni Tradisi di Tengah Modernisasi

 “Jumlah peserta memang hanya 16, tapi kami melihat eksplorasi musikal yang luar biasa, bahkan dari anak-anak SD,” katanya.

Ia menyebut banyak pelatih dan komunitas angklung masih belum terbiasa dengan proses penciptaan.

 “Ada ketakutan gagal, malu, atau merasa belum siap. Tapi setelah workshop, banyak yang justru menemukan potensinya,” ujar Whayan.

Baginya, festival ini menjadi standar baru.

 “Kita ingin dunia perangklungan Indonesia punya kualitas yang bisa dibanggakan. Standar musikalnya harus terus naik,” ujarnya.

Bagi Yadi Mulyadi, Pendiri Sora, komposer dan konduktor, persoalan mendasar angklung hari ini adalah belum adanya katalog karya orisinal. 

“Gamelan punya, musik klasik punya Mozart dan Beethoven, angklung belum. Kita hanya memainkan, belum mencipta,” katanya.

Yadi menekankan pentingnya angklung sebagai identitas musikal yang mandiri.

 “Kita sudah mendunia, tapi belum punya jati diri musikal. Kalau ingin sejajar di panggung global, kita harus punya karya sendiri,” ujarnya.

Ia juga mendorong para pelatih di sekolah-sekolah untuk tidak hanya mengulang lagu lama, tapi mulai berani menciptakan.

"Sebetulnya yang kami bawa di SORA itu satu, memberikan identitas baru bagi angklung. Selama ini angklung dianggap hanya media saja. Orang lebih sering memainkan lagu-lagu lain seperti pop dan dangdut di angklung, sedangkan angklung sendiri tidak punya karya. Dan itu sangat menyedihkan," jelasnya. 

Baca juga: Komunitas USA Gelar Halal Bihalal di Saung Angklung Udjo, Pererat Silaturahmi Sesama Anggota

Dalam konser tahun ini, SORA menggandeng musisi asal Tiongkok, Pei Yinan, yang secara mandiri datang ke Bandung demi tampil bersama SORA. 

Sementara itu, Ady Lukito dari SMA Pasundan Dua Bandung mengungkapkan Timnya menampilkan lima karya sebuah narasi musikal tentang keragaman seni budaya Indonesia.

Vidy Sepdianz, pelatih dari tim Svara Angklung Insan Sejahtera Sumedang, menyampaikan tantangan yang dihadapi dalam membina dua kelompok: ensemble troel dan orkestra angklung.

“Kami eksplorasi birama yang tidak umum, seperti 9/4, 7/5, dan 7/4. Anak-anak belajar cepat, meski awalnya sulit,” katanya. (*)

Sumber: Tribun Jabar
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved