Kujang sebagai Simbol Budaya Sunda: Tak Bisa Dimiliki Sembarang Orang atau Pejabat Sekalipun

Kujang adalah simbol budaya, identitas bangsa, dan kehormatan masyarakat Sunda yang sakral, bukan alat kekerasan. Kepemilikannya pun terbatas.

Penulis: Nappisah | Editor: Muhamad Syarif Abdussalam
tribunjabar.id / Nappisah
KUJANG - Koleksi kujang Abah Alam, tokoh sesepuh Sunda dari Keluarga Kewargian (KK)di Jalan Pasirkaliki, Kota Bandung, Sabtu (2/8/2025).  

Pemberian kujang ini juga bertepatan dengan peringatan Hari Jadi ke-194 Kota Purwakarta dan Hari Jadi ke-57 Kabupaten Purwakarta. Sebuah momentum yang, menurut Abah, layak dirayakan dengan cara yang bermakna. 

Kujang yang diberikan oleh Abah kepada Bupati Purwakarta tersebut bukan kujang pusaka kuno, melainkan sebuah kujang baru yang disebut kujang mardika replika dari kujang klasik yang dibuat lima tahun lalu, tanpa campur tangan dana pemerintah.

“Ini bukan kujang lama. Kujang ini kami buat khusus, secara mandiri. Simbol kebebasan, simbol kehormatan. Dan ada dorongan hati saat memberikannya. Bukan karena jabatan, tapi karena nilai yang dibawa oleh si penerima,” jelas Abah Alam

Ketika ditanya mengapa kujang tidak diberikan kepada pemimpin wilayah lain seperti di Bandung Raya, Abah menjawab dengan tenang. Menurutnya, para pemimpin di Bandung sudah lama dekat dengannya. 

“Tapi pemberian kujang ini bukan karena siapa dia, melainkan kapan dan bagaimana hatinya tergerak. Untuk mereka, ada momen tersendiri nanti.”

Menurut Abah Alam, pemberian kujang kepada seorang pemimpin bukan hal rutin, tapi bagian dari narasi budaya yang hidup. Ada rasa, ada nilai, dan ada penghormatan yang menyatu di dalamnya.

Abah menekankan pentingnya menjaga warisan budaya seperti kujang agar tetap hidup dan dimengerti oleh generasi muda. Salah satu upaya yang disarankannya adalah mengenalkan kaulinan atau permainan tradisional di lingkungan sekolah.

“Kaulinan itu bagian dari kebudayaan juga. Perlu dikenalkan mulai dari SD sampai SMA. Tapi cukup sebagai ekstrakurikuler. Tapi jangan dijadikan sebagai mata pelajaran utama. Cukup sebagai tambahan yang mendidik, bukan jadi tambahan pelajaran,” jelas Abah Alam. (*) 

Sumber: Tribun Jabar
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved