Kujang sebagai Simbol Budaya Sunda: Tak Bisa Dimiliki Sembarang Orang atau Pejabat Sekalipun

Kujang adalah simbol budaya, identitas bangsa, dan kehormatan masyarakat Sunda yang sakral, bukan alat kekerasan. Kepemilikannya pun terbatas.

Penulis: Nappisah | Editor: Muhamad Syarif Abdussalam
tribunjabar.id / Nappisah
KUJANG - Koleksi kujang Abah Alam, tokoh sesepuh Sunda dari Keluarga Kewargian (KK)di Jalan Pasirkaliki, Kota Bandung, Sabtu (2/8/2025).  

Laporan Wartawan Tribun Jabar, Nappisah

TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Bagi masyarakat Jawa Barat, kujang bukan hanya lambang keperkasaan. Kujang adalah simbol dari keteguhan sikap. 

Kujang hidup di tengah budaya Sunda sebagai warisan yang tidak lekang oleh zaman dan setiap bilahnya membawa nilai-nilai yang lebih dalam dari yang tampak di permukaan.

Salah satu sosok yang masih memegang nilai itu adalah Abah Alam, tokoh sesepuh Sunda dari Keluarga Kewargian (KK).

Ia memaknai kujang bukan sebagai barang pusaka semata, tapi sebagai bahasa hati yang muncul ketika seseorang ingin menyampaikan rasa hormat, dan harapan baik.

Secara fisik, kujang bisa jadi hanya sebilah logam yang dibentuk dengan lekukan-lekukan khas. Tapi dalam kacamata budaya, ia memuat filosofi mendalam: ketajaman akal (cipta), kekuatan niat (karsa), dan keteguhan dalam bertindak (laku). 

Itulah sebabnya kujang kerap diberikan pada momen-momen tertentu. Bukan sekadar kenang-kenangan, tapi sebagai bentuk penghormatan yang tidak bisa dibeli.

Terlebih, Pusaka Kujang dinyatakan bukan senjata tajam menurut hukum berdasarkan putusan pengadilan dalam perkara No. 259/Pid.B/2011/PN.Sbg yang telah berkekuatan hukum tetap. 

Abah Alam, tokoh sesepuh Sunda
Abah Alam, tokoh sesepuh Sunda dari Keluarga Kewargian (KK) saat ditemui di Jalan Pasirkaliki, Kota Bandung, Sabtu (2/8/2025).

Kujang adalah simbol budaya, identitas bangsa, dan kehormatan masyarakat Sunda yang sakral, bukan alat kekerasan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Senjata Tajam. 

Putusan ini menegaskan eksistensi dan perlindungan nilai-nilai budaya leluhur, serta menjadi bentuk pengakuan hukum terhadap warisan budaya Nusantara yang harus dijaga, dihormati, dan diwariskan.

Kujang tetap menyimpan tempat istimewa terutama ketika diberikan sebagai bentuk penghormatan kepada sosok-sosok yang dinilai membawa nilai-nilai kebaikan dan kepemimpinan.

Hal ini tercermin dari peristiwa hangat beberapa waktu lalu. Abah Alam secara pribadi menyerahkan sebuah kujang kepada Saepul Bahri Binzein atau yang lebih dikenal dengan Om Zein, Bupati Purwakarta. 

“Kujang yang diberikan murni dorongan dari hati. Pernah satu waktu abah didorong kursi roda oleh Om Zein. Karena Om Zein orang yang santun, lemah lembut, dan punya adab yang terjaga,” ujar Abah Alam saat ditemui di Jalan Pasirkaliki, Kota Bandung, Sabtu (2/8/2025). 

Menurut Abah, pemberian kujang adalah bentuk penghormatan. Bukan hadiah sembarangan. Kujang menjadi simbol kepercayaan dan penghargaan terhadap pribadi yang dianggap bisa menjaga nilai, budaya, serta membawa semangat kebaikan dalam kepemimpinan.

Penyerahan disaksikan Dandim 0619/Purwakarta, Letkol Inf Ardha Cairova Pari Putra, dan Sekretaris Daerah (Sekda) Purwakarta, Norman Nugraha.

Pemberian kujang ini juga bertepatan dengan peringatan Hari Jadi ke-194 Kota Purwakarta dan Hari Jadi ke-57 Kabupaten Purwakarta. Sebuah momentum yang, menurut Abah, layak dirayakan dengan cara yang bermakna. 

Kujang yang diberikan oleh Abah kepada Bupati Purwakarta tersebut bukan kujang pusaka kuno, melainkan sebuah kujang baru yang disebut kujang mardika replika dari kujang klasik yang dibuat lima tahun lalu, tanpa campur tangan dana pemerintah.

“Ini bukan kujang lama. Kujang ini kami buat khusus, secara mandiri. Simbol kebebasan, simbol kehormatan. Dan ada dorongan hati saat memberikannya. Bukan karena jabatan, tapi karena nilai yang dibawa oleh si penerima,” jelas Abah Alam

Ketika ditanya mengapa kujang tidak diberikan kepada pemimpin wilayah lain seperti di Bandung Raya, Abah menjawab dengan tenang. Menurutnya, para pemimpin di Bandung sudah lama dekat dengannya. 

“Tapi pemberian kujang ini bukan karena siapa dia, melainkan kapan dan bagaimana hatinya tergerak. Untuk mereka, ada momen tersendiri nanti.”

Menurut Abah Alam, pemberian kujang kepada seorang pemimpin bukan hal rutin, tapi bagian dari narasi budaya yang hidup. Ada rasa, ada nilai, dan ada penghormatan yang menyatu di dalamnya.

Abah menekankan pentingnya menjaga warisan budaya seperti kujang agar tetap hidup dan dimengerti oleh generasi muda. Salah satu upaya yang disarankannya adalah mengenalkan kaulinan atau permainan tradisional di lingkungan sekolah.

“Kaulinan itu bagian dari kebudayaan juga. Perlu dikenalkan mulai dari SD sampai SMA. Tapi cukup sebagai ekstrakurikuler. Tapi jangan dijadikan sebagai mata pelajaran utama. Cukup sebagai tambahan yang mendidik, bukan jadi tambahan pelajaran,” jelas Abah Alam. (*) 

Sumber: Tribun Jabar
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved