Fenomena Rojali dan Rohana, Alarm bagi Bisnis yang Tak Mau Beradaptasi

Fenomena toko-toko ramai, mal penuh sesak, antrean panjang di eskalator, tapi kasir tetap sepi terlihat belakangan ini. 

Penulis: Nappisah | Editor: Giri
Dok. Pribadi
FENOMENA ROJALI - Dosen Prodi Manajemen Fakultas Pendidikan Ekonomi dan Bisnis Universitas Pendidikan Indonesia, Heny Hendrayati. Heny menilai fenomena rojali dan rohana harus disikapi dengan positif oleh pelaku usaha. 

Laporan Wartawan Tribun Jabar, Nappisah

TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Fenomena toko-toko ramai, mal penuh sesak, antrean panjang di eskalator, tapi kasir tetap sepi terlihat belakangan ini. Pemandangan ini pun menjadi keluhan umum di dunia ritel. 

Mereka datang bergerombol, mencoba produk, bertanya detail, bahkan berfoto di etalase. Namun ketika mereka kemudian memilik keluar toko, alih-alih mendatangi kasir untuk membayar.

Tak heran jika dua istilah pun mencuat dari keresahan para pelaku usaha, rojali (rombongan jarang beli) dan rohana (rombongan hanya nanya).

Istilah ini semula berkembang di media sosial. 

Dosen Prodi Manajemen Fakultas Pendidikan Ekonomi dan Bisnis Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, Heny Hendrayati, yang menilai fenomena ini sebagai alarm keras bagi model bisnis yang tak mampu beradaptasi dengan perubahan perilaku konsumen.

“Rojali dan rohana bukan hanya soal tidak belanja, tapi soal bagaimana cara konsumen kini mengambil keputusan. Mereka lebih teliti, lebih terkoneksi, dan tidak mudah tergoda promosi sesaat,” ujar Heny kepada Tribunjabar.id, Sabtu (26/7/2025). 

Fenomena rojali dan rohana muncul bersamaan dengan meningkatnya kunjungan ke pusat perbelanjaan. Namun, lonjakan jumlah pengunjung tidak serta merta diikuti kenaikan penjualan. Banyak toko mengeluhkan situasi ini keramaian yang tidak berdampak langsung pada omzet.

Baca juga: Viral Curhat Pemilik Kafe di Yogyakarta, Sering Didatangi "Rojali", Alias Rombongan Jarang Beli

Heny menjelaskan, rojali merujuk pada konsumen yang datang bergerombol ke toko atau mal, tetapi nyaris tidak ada transaksi. Sementara rohana adalah mereka yang aktif bertanya tentang produk, harga, bahkan spesifikasi, namun tak kunjung melakukan pembelian.

“Bagi banyak pelaku usaha ritel, fenomena ini tentu merugikan. Biaya operasional tetap jalan sewa, listrik, karyawan. Tapi tak ada pemasukan yang sebanding. Padahal, pengunjung terlihat ramai,” katanya.

Alih-alih semata dianggap sebagai ancaman, Heny menilai rojali dan rohana sebagai cerminan perubahan cara belanja konsumen.

Menurutnya, ini tidak lepas dari peningkatan literasi digital dan kemajuan teknologi informasi. Konsumen kini lebih suka melakukan riset, membandingkan harga, dan mencari referensi sebelum membeli baik secara daring maupun luring.

Fenomena ini, lanjut Heny, dalam skala global, dikenal sebagai showrooming dan webrooming. Showrooming terjadi ketika konsumen melihat langsung produk di toko fisik lalu membeli secara online. Sementara webrooming adalah kebalikannya, riset dulu di internet, lalu beli di toko.

“Menurut survei Google dan TNS tahun 2023, lebih dari 80 persen konsumen global melakukan showrooming, dan lebih dari 85 persen melakukan webrooming. Ini menunjukkan bahwa toko fisik kini bukan lagi tempat utama untuk transaksi, melainkan bagian dari proses pertimbangan konsumen,” ujar Heny.

Baca juga: Bisnis Aci Rumahan dari Cimahi Ini Tembus Omzet Puluhan Juta per Bulan

Hal ini diperkuat oleh data penetrasi internet Indonesia. Berdasarkan laporan APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia), per Januari 2024 ada lebih dari 185 juta pengguna internet di Indonesia. 

Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved