Dulu Ditolak PTN di Indonesia, Pieter Lolos 6 Kampus Top di Jerman, Kuliah Gratis Tanpa Beasiswa

Inilah kisah Pieter Patonedi yang sempat ditolak Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Indonesia, namun kini diterima banyak kampus di Jerman.

Dok. Pieter via Kompas
LOLOS KAMPUS JERMAN - Inilah kisah Pieter Patonedi yang sempat ditolak Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Indonesia, namun kini diterima banyak kampus di Jerman. 

TRIBUNJABAR.ID - Inilah kisah Pieter Patonedi yang sempat ditolak Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Indonesia, namun kini diterima banyak kampus di Jerman.

Pemuda yang berusia 24 tahun itu kini sedang menempuh Pendidikan S2 di Jerman.

Pieter mengambil program studi Computer Science di RWTH Aachen University.

Sebelumnya, ia sudah menyelsaikan Pendidikan S1 di universitas dan program studi yang sama.

Artinya, Pieter sudah menetap dan berkuliah di Jerman selama enam tahun, sejak tahun 2019.

“Aku sudah dari tahun 2019 di Jerman. Awalnya S1 di sini, dan sekarang udah mau selesai dengan S2 di universitas yang sama,” jelas Pieter, dikutip dari Kompas.com.

Baca juga: Sosok Zazkia Anak Sopir di Bogor Raih Beasiswa di Singapura & Kanada, Belajar Bahasa Inggris Sendiri

Sempat Mengincar PTN Indonesia

Sebelum memutuskan kuliah S1 di luar negeri, Pieter sempat mencoba peruntungan di berbagai perguruan tinggi negeri di Indonesia.

Saat itu ia mencoba melalui jalur SNMPTN dan SBMPTN (sekara SNBP dan SNBT).

Namun sayangnya, ia gagal dan harus merelakan PTN incarannya waktu itu.

Alih-laih larut dalam kekecewaan, ia justru melihat peluang lain, yaitu kuliah di Jerman.

Ia mulai mempersiapkan diri untuk mengikuti Studienkolleg, sekolah penyetaraan bagi calon mahasiswa asing yang ingin melanjutkan kuliah di sana.

Tak tanggung-tanggung, ia mengirimkan aplikasi ke enam universitas top di Jerman, yaitu RWTH Aachen, TU München (TUM), Karlsruhe Institute of Technology (KIT), TU Darmstadt, TU Dresden, dan Universität Stuttgart. 

Hasilnya, Pieter dinyatakan diterima di keenamnya.

Baca juga: Sosok Dea Anak Nelayan Diterima ITB, Rumahnya Dipenuhi Piagam & Piala, Dosen Nangis Dengar Kisahnya

Serba-serbi jurusan kuliah

Ketika mendaftarkan diri di tahun 2019, program S1 Computer Science di RWTH Aachen, tempat Pieter mendaftar, tidak memiliki NC.

Hal ini pun menjadi salah satu jalan yang mempermudah proses penerimaan.

Dilansir dari laman DAAD, NC (numerus clausus) atau dalam Bahasa Inggris 'limited number', berarti program studi tersebut mempunyai penerimaan yang terbatas.

Misalnya, ada kriteria nilai, tes bakat, wawancara, pengalaman magang, hingga kuota kelas.

Sementara, non NC berarti penerimaanya terbuka dan tidak ada kuota yang membatasi seleksi masuk.

Seperti Pieter yang langsung diterima di jurusan dan kampus yang dipilihnya.

“Kalau program non-NC itu pasti keterima asalkan daftarnya tepat waktu dan dokumen kalian lengkap. Jadi nilai kalian itu benar-benar ga diliat,” jelas Pieter. 

Baca juga: Kisah Nauli Anak Penjual Pakaian Bekas Lolos ITB, Rektor Nangis Sesenggukan Datangi Rumahnya

Biasanya, program studi seperti kedokteran, farmasi, kedokteran hewan, dan kedokteran gigi pasti memiliki NC. 

Sedangkan, untuk jurusan dan universitas lain bisa berbeda-beda tergantung kebijakan yang berlaku. 

Sebagai tambahan informasi, Pieter juga menjelaskan bahwa NC dan non NC umumnya berlaku untuk jenjang S1. 

Sementara, jenjang S2 memiliki kriteria khusus untuk seleksi masuk. 

Bagi kamu yang bertanya-tanya apakah program studi non NC akan terkesan sangat ramai dan penuh, universitas Jerman ternyata mempunyai cara untuk mengatasi ini. 

Berdasarkan pemaparan Pieter, dalam satu kelas biasanya bisa sampai ratusan mahasiswa. 

Namun, ruangan kelas yang disediakan juga besar sehingga daya tampungnya sangat mencukupi. 

Selain itu, pengajar juga diberikan mikrofon dan perlengkapan lainnya untuk menyampaikan materi secara memadai. 

Saat ujian pun tetap bisa dilakukan secara serentak karena para mahasiswa disebar dalam ruangan yang banyak. 

“Jadi sebenarnya resiko itu ada, tetapi universitas di sini biasanya bisa memperkirakan dan memfasilitasi dengan baik, sehingga ga terasa overpopulated,” jelasnya.

Biaya hidup kuliah di Jerman

Selama berkuliah di Jerman, Pieter tidak menerima beasiswa.

Akan tetapi, ia tidak perlu membayar biaya Pendidikan karena RWTH Aachen adalah universitas negeri.

“Biaya kuliah di universitas negeri Jerman itu benar-benar gratis, 0€! Kita hanya perlu bayar biaya transport dan beberapa biaya kecil lainnya,” ujar Pieter. 

Adapun, rincian biaya lainnya juga sempat ia jelaskan dalam unggahan Reels di Instagram pribadinya @moinmoinindo. 

Dalam video tersebut ia menjabarkan sejumlah biaya yang dikeluarkan, antara lain: 

  • Tempat tinggal sharing, termasuk listrik, air, gas, dan pajak radio: 370 Euro atau Rp 7 Juta per bulan 
  • Makanan, bahan masak dan makan di luar 1-2 kali seminggu: 250 Euro atau Rp 4,7 Juta per bulan 
  • Asuransi kesehatan: 144 Euro atau Rp 2,7 Juta per bulan 
  • Biaya lain-lain: 100 Euro atau Rp 1,8 Juta per bulan

Untuk menanggung biaya hidup selama kuliah, Pieter juga bekerja paruh waktu di perkantoran dan menabung. 

Menurutnya, ada banyak cara agar pengeluaran tetap hemat. 

Salah satunya adalah dengan memasak sendiri dan berbagi tempat tinggal bersama mahasiswa lain.

Tips Pieter untuk mahasiswa

Walaupun sistem pendaftaran di Jerman cenderung lebih terbuka, bukan berarti kuliah di sana tanpa rintangan. Pieter menyatakan bahwa bahasa menjadi salah satu kendala utama, apalagi saat menjalani program S1 yang seluruhnya berlangsung dalam bahasa Jerman.

Menurutnya, sangat penting untuk memanfaatkan waktu demi memperkuat kemampuan Bahasa asing.

“Dengan kalian bisa bahasa Jerman, kalian bisa membuka banyak banget pintu, seperti mengenal budaya Jerman dengan lebih seru, berteman dengan orang-orang dari berbagai negara, dan lain-lain,” tambahnya.

Selain bahasa, Pieter juga menekankan pentingnya aktif mencari informasi jika ingin berkuliah keluar negeri. 

Baca juga: Kisah Avan Anak Pedagang Es Lolos Masuk ITB, Rumahnya Bak Toko Piala, Peluk Ibu saat Dapat Bantuan

 “Buat kalian yang ditolak dari PTN, jangan putus asa. Mungkin rezeki kamu justru ada di luar negeri, seperti di Jerman, di mana kesempatan belajar dan pengalaman baru menanti,” ujarnya. 

Layaknya Pieter yang merasa dirinya berkembang tak hanya secara akademik, tapi juga secara pribadi. 

Belajar di luar negeri telah mendorongnya untuk keluar dari zona nyaman, membentuk pengalaman belajar yang lebih besar. 

“Memang, kuliah di luar negeri bukan perjalanan yang mudah dan ada banyak tantangannya sendiri. Tapi justru dari situ kamu akan tumbuh. Kamu akan belajar hal-hal yang tidak diajarkan di kelas, seperti keberanian, kemandirian, dan toleransi,” kata Pieter.

(Tribunjabar.id/Salma Dinda) (Kompas.com.Elaine Keisha)

Baca berita Tribun Jabar lainnya di GoogleNews.

 

Sumber: Tribun Jabar
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved