Tragedi Nikahan Anak KDM di Garut

Sosiolog Ungkap Hiperealitas Sosok Pemimpin dan Warga yang Takut Ketinggalan Momen di Tragedi Garut

Fenomena ini bukan sekadar keramaian biasa, melainkan mencerminkan relasi antara simbol budaya, hiperealitas sosok pemimpin, dan harapan masyarakat

Penulis: Nappisah | Editor: Muhamad Syarif Abdussalam
KOMPAS.COM/ARI MAULANA KARANG
Gerbang Timur Pendopo Garut, Jawa Barat, Jumat (18/7/2025). Sejumlah aparat kepolisian dan Satpol PP berjaga usai insiden sejumlah warga tewas usai mengantre makanan di Pesta Rakyat yang merupakan rangkaian pernikahan Maula Akbar, putra dari Gubernur Jabar Dedi Mulyadi dan Wakil Bupati Garut Putri Karlina. 

Laporan Wartawan Tribun Jabar, Nappisah

TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG — Pesta rakyat dalam rangkaian kegiatan pernikahan Wakil Bupati Garut Putri Karlina dan Anggota DPRD Jawa Barat Maula Akbar mematik perhatian publik. 

Ribuan warga tumpah ruah dalam acara yang dikemas dengan nuansa budaya dan hiburan, namun juga memunculkan risiko seperti desak-desakan hingga jatuhnya korban jiwa. 

Sosiolog Universitas Padjadjaran, Herry Wibowo, menilai fenomena ini bukan sekadar keramaian biasa, melainkan mencerminkan relasi antara simbol budaya, hiperealitas sosok pemimpin, dan harapan masyarakat yang terus tumbuh.

“Memang hampir setiap pesta rakyat di Jawa Barat itu ramai. Ada Sisingaan, Ronggeng, dan unsur budaya lain yang mengundang massa. Ini sudah menjadi kebiasaan. Warga menganggapnya sebagai hiburan, terutama kalau dikaitkan dengan budaya,” ujar Herry, saat dihubungi Tribunjabar.id, Jumat (18/7/2025) malam.

Menurutnya, pesta rakyat yang diinisiasi oleh tokoh publik atau keluarganya sering kali menjadi magnet sosial, apalagi jika tokoh tersebut masih baru menjabat dan sedang naik daun.

“Apalagi kalau tokohnya mulai jadi idola. Ini beririsan dengan fenomena Fear of Missing Out (FoMO), masyarakat takut ketinggalan momen dan ingin menjadi bagian dari sesuatu yang dianggap penting,” tuturnya.

Herry menyoroti pentingnya manajemen massa dan kesiapan teknis saat kegiatan dibuka untuk umum. 

Menurutnya, potensi membeludaknya warga seharusnya diantisipasi sejak awal, apalagi jika terdapat informasi mengenai bagi-bagi makanan atau kegiatan gratis lainnya.

“Ada dua hal yang perlu diperhatikan: pertama, antisipasi dari penyelenggara berapa kira-kira massa yang akan datang dan bagaimana sistem pengamanannya. Kedua, pendewasaan masyarakat. Warga juga harus sadar risiko dan menjaga keselamatan diri sendiri, apalagi kalau yang datang anak-anak dan lansia,” ucapnya.

Herry menuturkan konsep hiperealitas dalam menjelaskan daya pikat sosok pemimpin yang ditampilkan di pesta rakyat tersebut. 

Ia menyebutkan bahwa figur pemimpin saat ini tidak hanya tampil sebagai birokrat, melainkan menjelma menjadi ikon media dan harapan kolektif.

“Ini adalah realitas yang melampaui kewajaran. Sosok peminpin hari ini dibombardir oleh media Instagram, YouTube, video pendek setiap hari hingga sebagian warga memandangnya bukan lagi sebagai manusia biasa, tapi simbol harapan perbaikan hidup,” jelas Herry.

Ia menambahkan, repetisi tayangan yang menggambarkan aksi pemimpin seperti membantu warga, meninjau proyek, hingga menyapa publik secara langsung, membentuk kesan kedekatan yang seolah-olah nyata. 

“Tayangan-tayangan ini menumbuhkan harapan, baik soal kesejahteraan keluarga maupun masa depan Jawa Barat secara umum. Wajar jika masyarakat ingin melihat langsung, bahkan berdesakan hanya untuk berada di dekatnya atau meramaikan kegiatan yang dihelatnya,” katanya.

Menurut Herry, fenomena ini erat kaitannya dengan kekuatan media yang bekerja lintas platform dan frekuensi. 

Bukan hanya berita formal, tapi juga potongan video keseharian yang viral ikut membentuk persepsi warga. 

“Hari ini masyarakat bisa menilai sendiri siapa yang kerja, siapa yang tidak. Mana pemimpin yang berani membenahi, dan mana yang hanya diam. Media, baik mainstream maupun non-mainstream, menciptakan ekspektasi yang tinggi terhadap tokoh publik,” ungkapnya.

Namun ia mengingatkan, ekspektasi itu perlu diimbangi dengan literasi dan kedewasaan publik. 

“Tidak semua orang bisa bertemu langsung. Dekat secara fisik tidak selalu perlu, karena hari ini sudah bisa diwakili dengan teknologi informasi. Sosok pemimpin yang menyapa warga lewat video, itu sudah cukup untuk membangun kedekatan,” kata Herry.

Menanggapi insiden yang menyebabkan korban dalam acara pesta rakyat tersebut, Herry berharap semua pihak bisa menjadikannya sebagai refleksi.

“Harus ada kebijakan lebih bijak. Protokol keamanan harus lebih tegas, masyarakat juga harus makin dewasa. Jangan sampai semangat masyarakat yang ingin dekat dan berpartisipasi dalam helatan pesta rakyat justru menimbulkan mudarat,” ujarnya. (*)

Sumber: Tribun Jabar
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved