Tarif Impor AS 19 Persen Dianggap Terendah di ASEAN, Pengamat: Waspadai Dampak bagi Industri Lokal

Meskipun secara angka terlihat menguntungkan, keberhasilan diplomasi perdagangan tidak bisa dinilai hanya dari tarif yang rendah. 

Penulis: Nappisah | Editor: Muhamad Syarif Abdussalam
Istimewa
Pakar Ekonomi sekaligus Praktisi Keuangan, Dr Mochammad Rizaldy Insan Baihaqqy. 

Laporan Wartawan Tribun Jabar, Nappisah

TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG — Penetapan tarif impor sebesar 19 persen oleh Amerika Serikat (AS) terhadap produk dari Indonesia menjadi angka paling rendah di kawasan ASEAN. 

Dr Mochammad Rizaldy Insan Baihaqqy, dosen sekaligus pengamat ekonomi dari Universitas Islam Nusantara (Uninus), mengatakan tarif impor 19 persen terhadap produk dari Indonesia adalah angka yang lebih rendah dibandingkan tarif terhadap negara ASEAN lainnya.

Contohnya Malaysia (25 persen), Vietnam (20 persen), Thailand dan Kamboja (36 persen), serta Laos dan Myanmar yang berada di atas 40 persen.

Menurut Rizaldy, meskipun secara angka terlihat menguntungkan, keberhasilan diplomasi perdagangan tidak bisa dinilai hanya dari tarif yang rendah. 

Ia menekankan perlunya melihat trade-off atau pengorbanan yang harus dibayar oleh Indonesia, terutama dalam konteks perlindungan industri dalam negeri.

“Kalau tarif impor dari AS diturunkan, maka produk-produk AS yang efisien dan murah bisa membanjiri pasar kita. Ini ancaman bagi sektor industri lokal yang efisiensinya belum maksimal, seperti makanan-minuman, pertanian olahan, atau teknologi menengah,” ujar Rizaldy, saat dihubungi Tribunjabar.id, Jumat (18/7/2025). 

Rizaldy memperingatkan bahwa tanpa pengamanan yang memadai, industri dalam negeri dapat terpukul. 

Ia mendorong pemerintah agar mengimplementasikan instrumen safeguard atau pengaturan teknis non-tarif (Non-Tariff Measures/NTM) seperti standardisasi mutu, sertifikasi, dan kewajiban kandungan lokal (local content requirement). 

Tujuannya adalah untuk menjaga daya saing sektor domestik tanpa melanggar aturan perdagangan internasional.

Rizaldy menilai, tarif rendah ini dapat dibaca sebagai indikasi perbaikan hubungan dagang Indonesia dan AS. Di tengah ketegangan dagang global, kesepakatan tarif ini menunjukkan pendekatan yang lebih konstruktif dan strategis, terutama dalam kerangka kerja sama Indo-Pasifik.

“Posisi Indonesia makin diperhitungkan sebagai mitra dagang utama non-China di ASEAN. Ini penting secara geopolitik dan ekonomi,” tambahnya.

Ia menyarankan agar pemerintah melakukan penyesuaian kebijakan tarif yang selektif dan berbasis data sektoral, bukan menurunkan semua tarif secara seragam.

“Perlu pemetaan sektor mana yang terdampak, lalu disiapkan kebijakan kompensasi seperti subsidi, pelatihan SDM, atau insentif teknologi,” katanya.

Selain itu, ia mengingatkan pentingnya transparansi dalam setiap perjanjian bilateral agar tidak terjadi distorsi pasar atau kesenjangan dalam implementasi.

Rizaldy menilai kesepakatan ini berpotensi menjadi solusi saling menguntungkan, asalkan prinsip resiprokal diterapkan dan ada evaluasi berkala atas sektor-sektor strategis. 

Menurutnya, penurunan tarif impor dari AS memang bisa menjadi peluang, tapi sekaligus tantangan besar. 

Dia menambahkan tanpa kebijakan protektif yang cermat, industri nasional bisa terancam oleh gelombang produk asing yang lebih murah. 

Oleh karena itu, lanjut dia, pemerintah dituntut bersikap adaptif, strategis, dan transparan dalam menyikapi dinamika perdagangan global. (*)

Sumber: Tribun Jabar
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved