Rencana Pemerintah Terapkan Pajak Bagi Pedagang Daring di e-Commerce Picu Kekhawatiran Pelaku UMKM

Rencana pemerintah menetapkan pajak 0,5 persen dari para penjual daring di e-commerce memicu kekhawatiran di kalangan pelaku UMKM. 

Penulis: Nappisah | Editor: Kemal Setia Permana
Tribun Jabar/ Kemal Setia Permana
PAJAK E-COMMERCE - Ilustrasi e-commerce. Rencana pemerintah menetapkan pajak 0,5 persen dari para penjual daring di e-commerce memicu kekhawatiran di kalangan pelaku UMKM.  

Laporan Wartawan Tribun Jabar, Nappisah


TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Rencana pemerintah menetapkan pajak 0,5 persen dari para penjual daring di e-commerce memicu kekhawatiran di kalangan pelaku UMKM. 

Skema yang akan menjadikan marketplace sebagai pemungut pajak ini dinilai perlu dikaji secara hati-hati agar tidak membebani pelaku usaha kecil yang masih dalam tahap merintis dan mengandalkan e-commerce sebagai tumpuan utama pendapatan.

Rinayani (35), salah satu penjual pakaian wanita di marketplace, mengaku khawatir jika pemungutan pajak dilakukan langsung oleh platform tempat ia berjualan. 

Menurutnya, tanpa sosialisasi dan simulasi yang jelas, kebijakan ini bisa membuat pelaku UMKM merasa "dipotong sepihak".

“Kalau dipotong langsung dari hasil penjualan, terus kami juga kena biaya admin, ongkir subsidi, komisi, akhirnya yang masuk ke kami makin tipis. Harusnya dikasih transparansi dan perhitungan dulu,” kata Rina saat dihubungi, Senin (30/6/2025) malam. 

Baca juga: Penjual Daring di e-Commerce Bakal Dipungut Pajak, Platform Singgung Kesiapan Teknis

Rina menyebut omzet penjualan naik saat Ramadan atau akhir tahun. Kendati demikian, belum tentu untung besar

Rina meminta sosialisasi segera disampaikan kepada para seller. 

"Ya, mudah-mudahan tidak hanya regulasi semata. Dalam prakteknya jangan sampai nanti kita kebingungan, harus sosialisasi. Mungkin ada video konten skema ketentuannya bagaimana."

"Selain itu, karena kita berjualan di e-commerce yang online, layanan akses untuk nanti tahapannya juga profer," jelas dia. 

Hal ini akan terasa semakin berat karena daya beli masyarakat saat ini memang turun. 

"Produknya, kan, fesyen memang bukan kebutuhan tiap hari seperti makan minum. Jadi kita sering memanfaatkan layanan di e-commerce seperti tanggal cantik, dan momentum high session seperti Lebaran," ujarnya.

Dibandingkan dua tahun silam, kata dia, penjualan memang tidak naik secara signifikan. 

"Kalau waktu itu, saat pandemi, sesudah pandemi, awal 2023 penjualan masih bagus. Kita sering stock macam-macam dan dalam kuantitas yang besar. Sekarang kita lihat traffic penjualan, stock juga dikurangin, yang paling penting operasional terpenuhi," imbuhnya. 

Baca juga: Adu Statistik 2 Kiper Newbie Liga 1 Milik Persib Bandung dan Bali United, Mana Lebih Keren?

Ia berharap dengan digodognya regulasi tersebut mementingkan aspek kesejahteraan para seller.

"Regulasi apapun selama baik kita dukung, tapi memang harus dipertimbangkan secata matang. Hal mana kiranya yang membebani dan tidak," ucapnya. 

Pemerintah sebelumnya menyampaikan bahwa kebijakan ini mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022 tentang penyesuaian tarif pajak UMKM, yang salah satunya memberikan ketentuan pajak final 0,5 persen bagi pelaku usaha dengan omzet tertentu.

Namun, rencana terbaru menyasar seller yang beroperasi di ranah digital dan menetapkan marketplace sebagai pihak yang memungut pajak tersebut di muka. 

Dilansir Kontan, pajak sebesar 0,5 persen akan diberlakukan untuk penjual yang memiliki pendapatan tahunan antara Rp500 juta hingga Rp4,8 miliar. Di sisi lain, pedagang dengan omzet di bawah Rp500 juta tidak akan dikenakan pajak ini. (*)

 

Sumber: Tribun Jabar
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved