Covid-19 Munculkan Varian Baru, Hasil Mutasi Omicron, Bisa Hindari Sistem Kekebalan dari Vaksin Lama

Dr Agung Dwi Wahyu Widodo dr MSi menerangkan, varian baru ini merupakan hasil mutasi Omikron, mulai dari JN.1 hingga NB.1.8.1 (nimbus).

Editor: Ravianto
KOMPAS.com/Akbar Bhayu Tamtomo
Ilustrasi Covid-19 Varian Omicron. Pakar Imunologi Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Airlangga (UNAIR) Dr Agung Dwi Wahyu Widodo dr MSi menerangkan, varian baru Covid-19 yakni varian nimbus merupakan hasil mutasi Omikron, mulai dari JN.1 hingga NB.1.8.1 (nimbus). (KOMPAS.com/Akbar Bhayu Tamtomo) 

TRIBUNJABAR.ID, JAKARTA - Lonjakan kasus covid-19 yang terjadi di Asia ditengarai karena adanya varian nimbus.

Pakar Imunologi Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Airlangga (UNAIR) Dr Agung Dwi Wahyu Widodo dr MSi menerangkan, varian baru ini merupakan hasil mutasi Omikron, mulai dari JN.1 hingga NB.1.8.1 (nimbus).

Nimbus memiliki perbedaan struktur spike yang sangat signifikan dari varian Omikron sebelumnya.

Karena itu diperlukan vaksin baru.

Dr Agung menilai vaksin lama kurang efektif terhadap varian baru.

Virus mutasi seperti Omikron dan Nimbus mampu menghindari sistem kekebalan yang terbentuk oleh vaksin generasi awal.

Hal ini menjadi tantangan baru dalam menghadapi penyebaran varian mutakhir.

Ia menyarankan agar segera dibuat vaksin baru yang spesifik untuk melawan varian-varian Omikron terkini.

"Sudah saatnya membutuhkan vaksin baru, sama seperti pada kasus influenza musiman. Vaksin yang diperbarui bisa memberi perlindungan lebih baik,” jelasnya mengutip laman unair, Selasa (10/6/2025).

Sejauh ini, lonjakan covid-19 saat ini tidak separah sebelumnya, tetapi ancamannya tetap nyata.

Untuk itu, kewaspadaan masyarakat perlu tetap dijaga.

Minimnya pemeriksaan dan pelacakan membuat infeksi covid-19 tidak terdeteksi.

Selain ada varian baru, lalu apa pemicu lonjakan kasus covid-19 di sejumlah negara Asia?

Ia menerangkan, peningkatan kembali kasus covid-19 dipicu oleh tiga faktor utama.

Selain ada varian baru, penurunan kekebalan populasi dan perubahan perilaku masyarakat pascapandemi juga jadi faktor pemicu.

"Kombinasi dari ketiganya menciptakan kondisi yang rawan terhadap penyebaran ulang," ujar dr. Agung

Dr. Agung juga menyebut bahwa perubahan cuaca juga dinilai berkontribusi menurunkan daya tahan tubuh masyarakat.

Juga ada perubahan musim dari panas berubah menjadi dingin dan hujan, kondisi yang ideal bagi penyebaran SARS-CoV-2.

Situasi tersebut mirip dengan saat virus pertama kali menyebar secara global.

“Perubahan musim ini memicu penurunan kekebalan tubuh masyarakat. Sementara itu, banyak orang merasa Covid-19 sudah tidak ada sehingga mereka mengabaikan protokol kesehatan. Padahal, tidak adanya pemeriksaan bukan berarti virus benar-benar hilang,” terangnya.(*)

Laporan wartawan Tribunnews.com, Rina Ayu

Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved