Stimulus Pemerintah untuk Daya Beli Dinilai Positif, Pengamat: Asal Harga Tak Ikut Naik

Acuviarta menilai, meskipun stimulus ini dapat mendorong konsumsi rumah tangga, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih jauh dari angka ideal

Penulis: Nappisah | Editor: Muhamad Syarif Abdussalam
dokumen pribadi
Pengamat Ekonomi Unpas Acuviarta Kartabi di DPRD Jabar. 

Laporan Wartawan Tribun Jabar, Nappisah

TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG — Pemerintah menggulirkan berbagai stimulus untuk menggairahkan daya beli masyarakat, terutama menjelang masa libur sekolah pada 5 Juni mendatang. 

Pengamat Ekonomi Universitas Pasundan (Unpas), Acuviarta Kartabi, menilai langkah ini sebagai strategi yang cukup tepat untuk mendorong konsumsi rumah tangga, namun tetap dengan catatan penting terkait stabilitas harga.

“Kalau kita lihat dari triwulan pertama, memang pertumbuhan ekonomi kita anjlok, dan ini butuh tenaga ekstra untuk mendongkrak konsumsi rumah tangga. Karena itu, strategi pemerintah mendorong daya beli melalui stimulus seperti diskon transportasi atau subsidi upah sudah cukup baik,” ujarnya, kepada Tribunjabar.id, Rabu (28/5/2025). 

Sebagai informasi, pemerintah menggelontorkan sejumlah insentif langsung dan tidak langsung guna mengurangi beban masyarakat. Beberapa stimulus yang diberikan. 

Pertama, diskon tarif tol hingga 20 persen yang berlaku selama periode arus mudik dan libur sekolah untuk sejumlah ruas tol strategis. Potongan harga tiket kereta api hingga 20 persen untuk perjalanan jarak jauh selama masa libur sekolah.

Kedua, diskon tarif listrik sebesar 50 persen bagi pelanggan rumah tangga nonsubsidi golongan tertentu.

Ketiga, Bantuan Subsidi Upah (BSU) senilai Rp600 ribu per orang untuk pekerja dengan gaji di bawah Rp3,5 juta per bulan.

Keempat, Bantuan Sosial (Bansos) Program Sembako dan PKH yang disalurkan melalui Kementerian Sosial kepada keluarga penerima manfaat.

Kelima, diskon iuran Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) yang diberikan kepada pelaku usaha untuk meringankan beban operasional dan menjaga keberlangsungan bisnis.

Menurut Acuviarta, insentif semacam ini tidak hanya membantu masyarakat secara langsung, tetapi juga memberikan dorongan signifikan terhadap sektor-sektor ekonomi seperti transportasi dan konsumsi.

“Permintaan akan mendorong sektor transportasi bergerak, dan itu bisa mendorong pertumbuhan ekonomi dari sisi lapangan usaha,” jelasnya.

Terkait dengan BSU, Acuviarta menyebut program ini cukup relevan terutama untuk daerah-daerah dengan upah minimum kabupaten/kota (UMK) di bawah Rp3,5 juta, seperti Ciamis, Tasikmalaya, Banjar, dan Pangandaran. Namun, ia menyoroti kriteria penerima yang mewajibkan pekerja terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan.

“Jangan sampai pekerja yang seharusnya dapat subsidi malah tidak dapat, karena kesalahan perusahaan yang tidak mendaftarkan mereka ke BPJS,” ujarnya.

Selain itu, ia berharap pemerintah juga memperhatikan pekerja di daerah dengan UMK di atas Rp3,5 juta, karena mereka pun menghadapi beban pengeluaran yang besar.

Acuviarta menilai, meskipun stimulus ini dapat mendorong konsumsi rumah tangga, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih jauh dari angka ideal seperti 8 persen. Ia memprediksi pertumbuhan ekonomi realistis hanya berada di kisaran 5 hingga 5,5 persen.

“Saya tidak bicara 6 persen, apalagi 8 persen. Itu jauh. Pertumbuhan 5 sampai 5,5 persen saja sudah bagus,” tegasnya.

Ia menambahkan bahwa masih ada tantangan global, seperti efek kebijakan proteksionisme dari Donald Trump di Amerika Serikat, yang dapat mengganggu ekspor Indonesia.

“Kalau ekspor kita anjlok akibat tarif impor AS yang tinggi, maka pertumbuhan bisa terhambat. Sekarang kita fokus ke konsumsi domestik, tapi jangan lupakan ekspor dan investasi,” katanya.

Menurut Acuviarta, insentif akan efektif hanya jika tidak dibarengi dengan lonjakan harga kebutuhan pokok. 

Ia mendorong pemerintah untuk menjaga inflasi tetap terkendali.

“Subsidi dan diskon boleh, tapi jangan sampai inflasi tinggi. Yang ada bukan dorong ekonomi, malah stagnan,” katanya.

 Ia juga menekankan pentingnya peningkatan produktivitas dan daya saing sektor usaha agar subsidi tidak sekadar jadi penyangga sesaat, tetapi turut menggerakkan ekonomi jangka panjang. (*)

Sumber: Tribun Jabar
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved