Muncul Pagar Beton di Laut Jakarta Utara, Nelayan Menderita dan Menangis Pendapatan Makin Menipis

Belum selesai kasus pagar bambu di laut, ternyata juga ada pagar beton di kawasan laut Marunda, Jakarta Utara dikeluhkan para nelayan yang merugi

Editor: Hilda Rubiah
KOMPAS.com/ SHINTA DWI AYU
PAGAR BETON DI LAUT: Muncul polemik pagar beton di laut diduga proyek pembangunan reklamasi di utara Marunda, Cilincing, Jakarta Utara. 

TRIBUNJABAR.ID - Belum selesai kasus pagar bambu di laut, ternyata juga ada pagar beton di kawasan laut Marunda, Jakarta Utara.

Belakangan polemik pagar beton laut ini juga banyak dikeluhkan para nelayan.

Pagar beton tersebut diduga menjadi fondasi dari proyek reklamasi yang mulai bermunculan di Jakarta Utara.

Adanya pagar beton tersebut ternyata berdampak 25 ribu nelayan yang merasa dirugikan.

Bahkan pendapatan mereka turun drastis makin menipis, kini cuma bisa mendapatkan Rp 50 ribu.

Baca juga: Kasus Pagar Laut di Tangerang: Kerugian Negara Mengemuka di Tengah Kisruh Hukum

Kondisi ironi ini masih berlangsung hingga saat ini.

"Beton-beton itu saya pastikan itu reklamasi," tutur Ketua Persatuan Nelayan Tradisional Indonesia Muhammad Tahir saat diwawancarai Kompas.com di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Cilincing, Jakarta Utara, Senin (19/5/2025), seperti dikutip TribunJatim.com dari Kompas.com, Rabu (21/5/2025).

Reklamasi-reklamasi baru itu, menurut Tahir, mulai terlihat sejak tahun 2023.

Ia menyebut pembangunan tersebut dilakukan oleh perusahaan-perusahaan swasta yang beroperasi di wilayah Marunda.

Tahir mengungkapkan, saat ini terdapat tiga lokasi reklamasi yang sedang dikerjakan di wilayah utara Marunda.

Ketiga lahan reklamasi itu rencananya akan dijadikan pelabuhan.

"Sekarang ini, perencanaannya akan ada tiga pear pelabuhan yang akan menjorok ke laut," beber Tahir.

Pengamatan Kompas.com di lokasi, satu lahan reklamasi terlihat jelas dari Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Cilincing, Jakarta Utara.

Tahir mengatakan, lahan reklamasi itu merupakan titik ketiga yang proses pembangunannya baru sampai tahap fondasi.

Fondasi itu dibangun menggunakan pagar beton yang memanjang sekitar tiga kilometer dari daratan menjorok ke tengah laut.

Sementara itu, lahan reklamasi kedua masih dalam proses pengerukan, sedangkan lahan pertama sudah dioperasikan menjadi pelabuhan untuk penampungan batu bara curah.

Pembangunan reklamasi tersebut membuat para nelayan kesulitan mencari ikan.

Sebab, reklamasi-reklamasi itu dibangun di area para nelayan biasanya mencari ikan.

"Sementara wilayah yang dipakai itu, wilayah area tangkap nelayan, mereka tidak memberikan solusi kita sebagai nelayan tradisional, kita harus melaut seperti apa," ucap Tahir.

Tahir mengatakan, sejak ada pembangunan pagar beton, ini membuat nelayan harus melaut lebih jauh untuk mendapatkan ikan sehingga mengeluarkan biaya lebih besar.

"Secara otomatis, dampak pembangunan itu yang pertama kita kehilangan area tangkap, kedua kita melaut itu biaya lebih besar karena kita harus melaut lebih jauh lagi," jelas Tahir.

Kondisi saat ini membuat banyak nelayan mengalami kerugian.

Pendapatan mereka menurun drastis sejak keberadaan pagar beton tersebut.

"Saat belum ada betonisasi, para nelayan masih ada sisa pendapatan. Sekarang nelayan pulang melaut untuk bahan bakar aja enggak menutup," tutur Tahir.

Ia memaparkan bahwa untuk satu kali melaut menggunakan kapal kecil, nelayan harus mengeluarkan biaya sekitar Rp 200.000-Rp 300.000.

Dulu, dengan modal sebesar itu, nelayan bisa meraih keuntungan hingga Rp 1 juta.

Namun kini, hasil tangkapan hanya cukup untuk menutup sedikit dari biaya yang dikeluarkan.

Baca juga: Daftar Nama 9 Orang Tersangka Kasus Pagar Laut Bekasi, Semuanya Perangkat Desa Segarajaya

"Pada saat kita berangkat melaut dengan biaya Rp 300.000, kadang lebihnya Rp 100.000, Rp 50.000 itu syukur kita untuk nutupi itu," jelas Tahir.

Karena merasakan dampak yang merugikan, para nelayan berharap agar reklamasi di Teluk Jakarta segera dihentikan.

"Kalau ini dibiarkan terjadinya marak reklamasi-reklamasi kecil yang dilakukan oleh korporasi secara otomatis nelayan akan punah," ungkap Tahir.

Tahir mendorong agar pemerintah pusat dan daerah melihat langsung kondisi di Teluk Jakarta yang mulai bermunculan reklamasi baru.

Seharusnya, kata Tahir, pemerintah bisa lebih fokus untuk menjaga Teluk Jakarta.

"Artinya, pemerintah harus benar-benar konsentrasi terhadap Teluk Jakarta yang mana teluk satu-satunya, harus dijaga, karena sangat langka," kata Tahir.

Jika reklamasi terus berlanjut tanpa ada tanggapan dari pemerintah, para nelayan berencana menggelar aksi demonstrasi.

Menurut Tahir, ada puluhan ribu nelayan yang siap turun ke jalan.

"Ada sekitar 25 ribu nelayan yang akan turun," ucap Tahir.

Tahir menjelaskan, pembangunan reklamasi di Teluk Jakarta kini di bawah kewenangan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jakarta.

Apabila pembangunan reklamasi itu memang untuk kepentingan masyarakat luas, Tahir dan nelayan lainnya akan menerima.

Namun, jika untuk kepentingan suatu perusahaan, ia meminta agar pembangunan reklamasi itu dihentikan.

"Tapi, kalau untuk kepentingan korporasi atau perorangan kita minta setop. Pemerintah pusat bisa melihat ini ada kedzoliman terhadap masyarakat kecil," tutur Tahir.

Meski begitu, sebelum menggelar aksi unjuk rasa, para nelayan akan terlebih dahulu menyampaikan protes secara resmi melalui surat.

"Kita coba nanti akan bersurat dulu. Kalau memang sudah bersurat beberapa kali tidak direspons juga, maka kita pastikan kita akan simpul seluruh nelayan Teluk Jakarta untuk melawan," jelas Tahir.

Artikel ini telah tayang di TribunJatim.com dengan judul Pendapatan Kini Cuma Rp50 Ribu, Nelayan Menangis Muncul Pagar Beton di Laut, 25 Ribu Orang Menderita

Sumber: TribunJatim.com
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved