Hikmah Ramadhan
Zakat Bukan Pencucian Uang: Meneguhkan Filantropi Islam yang Berintegritas
BAZNAS memproyeksikan pada tahun 2025, dana zakat di Indonesia akan mencapai angka fantastis Rp327 triliun.
Oleh Dr Firman Nugraha M.Ag *
DI TENGAH gemerlap lampu Ramadan yang menyinari ritual-ritual ibadah, ada sebuah pilar ekonomi sosial yang sering kali luput dari perhatian publik - zakat. Potensinya sungguh luar biasa.
Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) memproyeksikan pada tahun 2025, dana zakat di Indonesia akan mencapai angka fantastis Rp327 triliun.
Jumlah ini setara dengan 1,7 persen dari total APBN 2024, sebuah angka yang bisa mengubah wajah perekonomian nasional jika dikelola dengan benar. Namun di balik potensi besar ini, tersembunyi sebuah ironi yang menggelisahkan.
Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia justru terjebak dalam paradoks spiritual yang memilukan.
Data Transparency International 2024 menunjukkan Indeks Persepsi Korupsi kita masih terpuruk di angka 34, sementara di saat yang sama masjid-masjid penuh dengan jamaah yang rajin beribadah.
Survei PPIM UIN Jakarta mengungkap fakta yang lebih mencengangkan lagi: 62% muslim Indonesia menganggap sumber harta tidak mempengaruhi keabsahan zakat. Inilah yang dalam istilah teologis disebut sebagai "kesalehan yang terfragmentasi", di mana ritual dipisahkan dari etika dalam kehidupan ekonomi.
Kasus-kasus yang terungkap belakangan ini semakin memperparah keadaan. PPATK mencatat dalam lima tahun terakhir terdapat 23 kasus pencucian uang melalui yayasan keagamaan dengan total kerugian mencapai Rp2,3 triliun.
Modusnya beragam, mulai dari pengalihan dana zakat untuk investasi ilegal hingga pembuatan program fiktif. Sungguh sebuah penyimpangan yang jauh menyimpang dari makna zakat sebagai thaharah (penyucian) yang sesungguhnya.
Dalam perspektif teologis, Al-Qur'an surat At-Taubah ayat 103 menyatakan bahwa zakat sebagai media pensucian jiwa dan harta. Namun demikian, Hadis riwayat Muslim menyatakan dengan tegas: "Allah tidak menerima sedekah dari harta ghulul (haram)".
Fatwa MUI No. 20/2021 secara eksplisit menyatakan bahwa zakat dari harta korupsi tidak sah dan termasuk dosa ganda. Ini adalah prinsip dasar yang seharusnya menjadi fondasi sistem zakat kita.
Namun, zakat bukan sekadar persoalan teologis semata. Dari sudut pandang ekonomi, studi BAZNAS-IPB 2023 membuktikan bahwa setiap Rp1 miliar zakat yang dialokasikan untuk UMKM mampu menciptakan 12 lapangan kerja baru dan meningkatkan pendapatan penerima sebesar 23%.
Di Arab Saudi, sistem zakat terintegrasi bahkan berkontribusi 3,2% terhadap PDB non-migas. Ini menunjukkan potensi zakat sebagai mesin penggerak ekonomi kerakyatan yang nyata.
Lalu bagaimana membangun sistem zakat yang berintegritas? Pertama, kita membutuhkan terobosan regulasi yang lebih kuat. Integrasi database BAZNAS dengan Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD) menjadi keharusan untuk memastikan pelacakan aset wajib zakat yang transparan. Amendemen UU No. 23/2011 tentang
Pengelolaan Zakat harus memasukkan sanksi pidana yang tegas bagi penyalahgunaan dana zakat.
Kedua, inovasi tata kelola menjadi kunci.
Penerapan teknologi blockchain seperti yang sedang diujicobakan BAZNAS melalui proyek Digital Zakat Hub dapat menjadi solusi untuk menciptakan sistem distribusi yang transparan dan akuntabel. Sertifikasi ISO 37001 Anti-Bribery Management System perlu diwajibkan bagi semua Lembaga Amil Zakat terdaftar.
Ketiga, pendekatan pemberdayaan harus berbasis bukti dan terukur. Model "Zakat for SDGs" yang mengalokasikan 40?na untuk pendidikan, 30% untuk kesehatan, dan 30% untuk ekonomi bisa menjadi kerangka kerja yang efektif. Kolaborasi dengan BUMN Syariah dalam program pendampingan usaha dapat memastikan dampak yang berkelanjutan.
Terakhir, tapi tidak kalah penting, adalah membangun kesadaran publik. Literasi zakat harus masuk dalam kurikulum wajib dipenyiaran keagamaan. Kampanye "Zakat Nirlaba" yang melibatkan ulama dan influencer muda dapat menjadi gerakan kultural untuk mengubah paradigma masyarakat.
Pada akhirnya, zakat harus kita posisikan bukan sekadar sebagai kewajiban agama tahunan, melainkan sebagai gerakan sosial transformatif. Sebagaimana pesan Nabi Muhammad SAW: "Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah" (HR. Bukhari), zakat idealnya menjadi manifestasi dari masyarakat yang mandiri dan berkeadilan.
Dengan penguatan sistem pengawasan berbasis teknologi, sinergi antar-lembaga, dan pendekatan pemberdayaan yang berbasis data, kita bisa mewujudkan sistem filantropi Islam yang bersih, profesional, dan benar-benar mampu menjadi solusi bagi masalah kemiskinan dan ketimpangan di negeri ini.
Inilah saatnya kita mengembalikan zakat pada khittahnya yang sebenarnya - sebagai instrumen keadilan sosial yang memadukan ketakwaan dengan akuntabilitas, spiritualitas dengan intelektualitas, serta amaliah dengan profesionalisme.
Hanya dengan cara inilah zakat dapat benar-benar menjadi rahmat bagi seluruh alam, bukan sekadar menjadi tameng bagi praktik-praktik ekonomi yang tidak bermoral. (*)
- Firman Nugraha adalah widyaiswara dan dosen di Universitas Islam Bunga Bangsa Cirebon, aktif di Majelis Pustaka dan Informasi PW Muhammadiyah Jabar. Artikel ini merupakan refleksi pribadi atas realitas keberagamaan kontemporer.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.