Harga Gabah Turun Drastis di Bawah Standard, Pengamat Sebut Salah Kebijakan Bulog Penyebabnya

Khudori mengatakan gabah kering panen (GKP) yang biasanya dihargai dengan baik, kini ditawar dengan harga yang jauh di bawah harapan petani.

Penulis: Nappisah | Editor: Kemal Setia Permana
Tribun Jabar/Gani Kurniawan
HARGA GABAH TURUN - Foto ilustrasi buruh tani memisahkan gabah dari sisa merang yang terbawa setelah dirontokan melalui proses mekamis pada panen padi di kawasan Mengger, Kecamatan Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Kamis (16/3/2023). Menjelang Lebaran 2025, harga gabah mengalami penurunan drastis hingga di bawah standard. Pengamat menyebut hal ini diakibatkan oleh kesalahan kebijakan Bulog. 

Laporan Wartawan Tribun Jabar, Nappisah

TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Harga gabah mengalami penurunan drastis, Saat ini harga gabah berada di bawah standard pasar yang menyebabkan petani di berbagai daerah mengalami kesulitan. 

Terkait penurunan harga gabah ini,  pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Khudori, mengatakan bahwa dalam menyambut musim panen padi, Gabah kering panen (GKP) yang biasanya dihargai dengan baik, kini ditawar dengan harga yang jauh di bawah harapan petani.

"Bahkan para tengkulak hanya menawarkan sekitar Rp6.000 per kilogram atau lebih rendah lagi," ujar Khudori, Sabtu (22/3/2025). 

Baca juga: Nasib Pilu Syamsudin, Buruh Bangunan Asal Karawang, Mau Mudik Uangnya Hilang Dicuri Saat Salat

Khudori menyebut kondisi ini semakin diperburuk dengan keputusan Badan Urusan Logistik (Bulog) yang selama ini menjadi harapan utama petani untuk menyerap gabah. 

Sebagai pengelola cadangan pangan nasional, Bulog justru membatasi bahkan menghentikan pembelian gabah. 

Hal ini berawal dari Keputusan Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) No. 14/2025 yang diterbitkan pada Januari 2025. 

Dalam regulasi ini, kata dia, Bulog hanya membeli gabah dengan harga Rp6.500 per kilogram tanpa memperhatikan kualitas gabah, menghapuskan ketentuan sebelumnya yang menyangkut kadar air dan kadar hampa gabah.

"Akibat kebijakan ini, gabah yang dipanen dalam kondisi basah akibat hujan, yang kadang memiliki kadar air lebih dari 35 persen, dihargai dengan harga yang sama seperti gabah kering," tuturnya. 

Khudori menilai kebijakan ini sangat merugikan petani yang memiliki gabah berkualitas, sekaligus membuka peluang manipulasi. 

Sebab petani atau pihak lain bisa memanen padi lebih cepat atau bahkan sengaja membasahi gabah agar beratnya lebih tinggi meskipun kualitasnya rendah.

Hal Inilah justru yang menyebabkan Bulog sendiri kesulitan memilah gabah sesuai kualitas dan mengancam ketahanan pangan dengan beras yang kualitasnya tidak terjaga.

Baca juga: Persib Yakin Gak Minat? 14 Pemain Persija Potensi Out Musim Depan, Berikut Daftarnya

Bulog yang kini hanya mampu menyerap sekitar 20.000 hingga 25.000 ton gabah per hari, sebagian besar berupa gabah kering, terhambat oleh keterbatasan fasilitas pengering (dryer). 

"Banyak penggilingan padi swasta juga tidak memiliki fasilitas pengering yang memadai, sehingga kualitas gabah yang tidak sesuai standard menjadi masalah besar," imbuhnya. 

Padahal, kata dia, Bulog mengklaim membeli gabah untuk menjaga ketahanan pangan, tetapi harga pembelian beras di Bulog yang hanya Rp12.000 per kilogram sangat tidak menguntungkan bagi penggilingan padi. 

Akibatnya, penyerapan beras oleh Bulog masih rendah dan sebagian besar serapan berfokus pada gabah yang kemudian harus diproses oleh penggilingan padi swasta dengan biaya tambahan.

Dengan kondisi ini, Khudori mengingatkan bahwa jika kebijakan ini tidak segera diperbaiki, masalah penyerapan gabah dapat semakin meluas, terutama dengan semakin dekatnya puncak panen padi pada bulan Maret dan April 2025. 

Sebagai solusi, ia mengusulkan agar kebijakan pembelian gabah kembali dilengkapi dengan syarat kualitas dan harga yang sesuai. 

Baca juga: Resmi Buat LP, Jurnalis Kompas.com Ceritakan Detik-detik Diserang Massa Demo Tolak Revisi UU TNI

Khudori juga menyarankan agar harga pembelian beras oleh Bulog disesuaikan dengan harga yang lebih realistis, yaitu sekitar Rp13.000 per kilogram.

Selain itu, pemerintah perlu menyesuaikan harga eceran tertinggi (HET) beras karena kenaikan harga gabah berdampak pada biaya produksi beras yang lebih mahal. 

Untuk mengatasi masalah jangka panjang, Khudori juga mengusulkan pembangunan fasilitas pengering dan revitalisasi penggilingan padi kecil dengan fasilitas dryer untuk menangani gabah dengan kualitas yang bervariasi.

"Jika langkah-langkah korektif ini tidak segera diambil, dampak negatif terhadap kesejahteraan petani dan ketahanan pangan Indonesia akan semakin besar," ujar Khudori

Oleh karena itu, perubahan kebijakan yang tepat sasaran sangat diperlukan agar masalah penyerapan gabah tidak berlarut-larut dan memberikan manfaat yang optimal bagi petani serta sektor pangan nasional. (*)


 

-

Sumber: Tribun Jabar
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved