Kenali Hujan Asam yang Banyak Tidak Disadari, Berpotensi Merusak Lingkungan dan Infrastruktur

Peneliti ahli utama pusat riset iklim dan atmosfer BRIN, Trismidianto, menyebut fenomena yang sering terabaikan yaitu dampak air hujan tercemar polusi

istimewa AI
HUJAN ASAM - Foto ilustrasi hujan menggunakan gambar AI. Peneliti ahli utama pusat riset iklim dan atmosfer BRIN, Trismidianto, menyebut salah satu fenomena yang sering terabaikan masyarakat ialah dampak air hujan yang telah tercemar polusi.  

Laporan Wartawan Tribun Jabar, Muhamad Nandri Prilatama

TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Peneliti ahli utama pusat riset iklim dan atmosfer BRIN, Trismidianto, menyebut salah satu fenomena yang sering terabaikan masyarakat ialah dampak air hujan yang telah tercemar polusi. 

Menurut Trismidianto, bila air hujan mengandung polutan, semisal logam berat, sulfur dioksida, dan nitrogen oksida, maka air hujan bisa membentuk hujan asam yang berpotensi merusak lingkungan dan infrastruktur.

"Tahukan patung pancoran Jakarta? Nah patung itu sudah tercemar hujan asam. Hujan asam terjadi karena berbagai faktor lingkungan, termasuk polusi udara dan hujan. Faktor ini sebabkan korosi pada permukaan patung," tutur Trismidianto, Kamis (20/2/2025).

Baca juga: Cuaca Ekstrem Bawa Bencana, Disdik Sumedang Perintahkan Semua Sekolah Mitigasi

Ia mengatakan air hujan seringkali disepelekan masyarakat, lantaran dinilai tak berbahaya. Padahal jika air hujan tercemar polusi bisa membawa polutan, seperti logam berat, sulfur dioksida, nitrogen oksida, yang bisa membentuk hujan asam itu.

Oleh karenanya, Trismidianto menyebut penelitian di bidang iklim dan atmosfer sangatlah penting guna meningkatkan pemahaman serta kemampuan dalam memperkirakan peringatan dini bencana, mitigasi, dan adaptasi perubahan iklim, pengelolaan lingkungan berkelanjutan, serta pencapaian sustainable development goals (SDGs)

"Atmosfer bumi mempunyai lapisan utama, yakni troposfer, stratosfer, mesosfer, termosfer, dan eksosfer. Setiap lapisan ini punya karakteristisnya dan fungsi yang berbeda. Hujan asam terbentuk di troposfer, yakni lapisan atmosfer paling bawah yang membentang sampai 8-15 km di atas permukaan bumi. Troposfer ini tempat terjadinya sebagian besar fenomena cuaca, termasuk hujan," katanya.

Kemudian, ionosfer, berpengaruh ke penerbangan dan memprediksi bencana. Sampai sekarang, sedang berlanjut pengujian riset mengenai total elektron ionosfer untuk memprediksi terjadinya gempa bumi, dengan melihat pergerakan atau perubahan di permukaan lewat total elektron.

"Tak kalah penting, interaksi antara atmosfer dan lautan juga berperan dalam pertanian serta pola cuaca global. Perubahan arus laut dapat memengaruhi curah hujan dan kondisi iklim di Indonesia. Salah satu contoh fenomena ini adalah El Nino, yang terjadi akibat gangguan pada sirkulasi atmosfer dan lautan di Samudra Pasifik. El Nino menyebabkan perubahan pola cuaca ekstrem, yang dapat berdampak negatif pada tanaman dan hasil panen," katanya.

Baca juga: Daftar 10 Tradisi Sambut Bulan Puasa Ramadhan di Wilayah Indonesia, Munggahan hingga Padusan

Kemudian Trismidianto menjelaskan bahwa perubahan iklim merupakan perubahan yang terjadi atas variabel-variabel iklim, khususnya temperatur udara dan curah hujan yang terjadi secara berangsur-angsur dalam jangka waktu panjang, antara 50 sampai 100 tahun.

Dalam perubahan iklim, bisa saja terjadi banjir, kekeringan, pergeseran musim, pergeseran cuaca, dan lain sebagainya.

“Nah, ini awalnya gas rumah kaca. Saya yakin semuanya pernah merasakan, salah satu contoh parkir mobil yang disimpan di lapangan yang panas. Ketila pertama masuk di dalam terasa sangat panas, itulah GRK. Kenapa? karena panas atau radiasi yang masuk itu terperangkap dan tidak bisa keluar,” ujar Trismidianto. (*)

Sumber: Tribun Jabar
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved