Pemangkasan Anggaran oleh Pemerintah Dinilai Berpotensi Memicu PHK Massal di Sektor Perhotelan

PHRI Jawa Barat menyebut wacana pemangkasan anggaran di pemerintahan dapat memberikan dampak turunnya okupansi bagi sektor perhotelan. 

Penulis: Nappisah | Editor: Muhamad Syarif Abdussalam
Tribun Jabar/M Rizal Jalaludin/Arsip
ILUSTRASI HOTEL - Suasana Grand Inna Samudera Beach Hotel (GISBH), Kabupaten Sukabumi, Kamis (5/8/2024). PHRI Jawa Barat menyebut wacana pemangkasan anggaran di pemerintahan dapat memberikan dampak turunnya okupansi bagi sektor perhotelan.  

Laporan Wartawan Tribun Jabar, Nappisah

TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Ketua Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Jawa Barat, Dodi Ahmad Sofiandi, menyebut wacana pemangkasan anggaran di pemerintahan dapat memberikan dampak turunnya okupansi bagi sektor perhotelan

Sebagai informasi, Pemerintah Provinsi Jawa Barat sedang mengkaji efisiensi anggaran untuk tahun 2025 dengan melakukan relokasi anggaran sebesar Rp 4 triliun, begitu pun dengan pemerintah pusat bahkan kabupaten dan kota. 

Kebijakan ini diambil sebagai tindak lanjut dari Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025, yang bertujuan untuk mengoptimalkan penggunaan anggaran di sektor-sektor prioritas.

Menurut Dodi, kebijakan pemotongan anggaran ini berpotensi menyebabkan pengusaha hotel kesulitan bertahan, terutama karena sektor perhotelan sangat bergantung pada anggaran pemerintah.

“Anggaran pemerintah yang biasanya menjadi salah satu penyumbang utama pendapatan sektor perhotelan, jika dipangkas, tentu sangat berdampak besar. Rata-rata tamu hotel di Jawa Barat itu berasal dari segmen pemerintah, sekitar 40 persen. Jadi, jika anggaran pemerintah dipotong, otomatis okupansi hotel akan turun dan berpengaruh langsung pada pendapatan,” jelas Dodi, kepada Tribunjabar.id, Minggu (9/2/2025). 

Pada bulan Januari lalu, Dodi mencatat bahwa okupansi hotel di Jawa Barat hanya tercatat sekitar 30%, jauh dari angka minimal yang diperlukan untuk menutup biaya operasional yang mencapai 55%.

"Hotel di daerah tertentu, seperti di Braga, masih bisa bertahan, tetapi sebagian besar hotel lainnya defisit," imbuhnya.

Lebih lanjut, Dodi menegaskan bahwa kebijakan pemotongan anggaran seharusnya melibatkan diskusi dengan berbagai pihak terkait, termasuk Kementerian Pariwisata dan asosiasi hotel, sebelum diterapkan. 

Menurutnya, kebijakan yang diputuskan sepihak dan mendadak ini akan menimbulkan dampak negatif jangka panjang.

"Kalau pemangkasan ini terus berlanjut hingga setelah Lebaran, hampir pasti banyak hotel yang terpaksa mem-PHK-kan karyawannya. Saya perkirakan sekitar 50?ri karyawan hotel di Jawa Barat akan kehilangan pekerjaan," ungkap Dodi. 

Ia juga menambahkan bahwa dampak pemotongan anggaran ini tidak hanya dirasakan oleh pengusaha hotel, tetapi juga oleh sektor lain yang terhubung, seperti pemasok barang dan distributor makanan. 

“Jika pesanan di hotel berkurang, otomatis pendapatan para pemasok dan distributor juga berkurang. Hal ini mempengaruhi mereka untuk mengurangi jumlah karyawan,” jelasnya.

Untuk itu, Dodi berharap agar pemerintah pusat mempertimbangkan kembali kebijakan ini. 

"Saya berharap kebijakan ini bisa ditinjau ulang agar tidak menambah dampak negatif bagi sektor pariwisata yang baru saja pulih setelah pandemi," katanya.

Sebagai contoh, Dodi menyebutkan pendapatan sektor perhotelan di Kota Bandung yang mencapai sekitar Rp 900 miliar pada tahun 2024. 

"Jika kegiatan pemerintah yang selama ini berlangsung di hotel berkurang, maka Pendapatan Asli Daerah (PAD) untuk Kota Bandung maupun daerah lain akan ikut menurun," kata dia. 

Dodi juga mengingatkan agar kebijakan pemangkasan anggaran dilakukan dengan kajian yang mendalam dan melibatkan berbagai pihak terkait.

"Kebijakan ini tidak boleh tiba-tiba keluar tanpa analisis yang matang. Seperti kasus gas melon, yang akhirnya setelah kajian diputuskan untuk dibatalkan, hal serupa seharusnya juga dilakukan dalam hal pemangkasan anggaran," tambahnya.

Dodi menambahkan, agar pemerintah berhati-hati dalam mengambil keputusan besar yang berpotensi menimbulkan dampak sosial dan ekonomi yang luas. 

"Jangan terburu-buru dalam mengambil kebijakan. Kita pengurus tidak bisa apa-apa. Harapan kami semua keputusan harus melalui analisis yang mendalam untuk meminimalisir dampak negatif yang ditimbulkan," ujar Dodi. (*)

Sumber: Tribun Jabar
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved