Bagi Warga Kampung Sukamahi, Golok Bukan Sekadar Senjata, Tapi Kehidupan
Bagi para perajin golok di Kampung Sukamahi, Kabupaten Bandung, golok bukan semata senjata. Bagi mereka, golok adalah kehidupan...
Penulis: Arief Permadi | Editor: Arief Permadi
OLEH ARIEF PERMADI, JURNALIS TRIBUN JABAR
KABUPATEN BANDUNG - Bagi para perajin golok di Kampung Sukamahi, Desa Mekarmaju, Kecamatan Pasirjambu, Kabupaten Bandung, golok bukan semata senjata. Bagi mereka, golok adalah kehidupan. Simbol keberanian dan lambang perjuangan yang tak terpisahkan dari identitas mereka.
Tak sulit untuk menemukan Kampung Sukamahi. Dari pusat Kota Bandung, hanya perlu sekitar dua jam untuk mencapai kampung ini. Menggunakan Tol Soroja dari pintu Tol Buahbatu, waktunya lebih singkat lagi, sekitar satu jam, bahkan lebih cepat dari itu.
Dari Jalan Raya Bandung-Ciwidey, lokasinya berada di sebelah kanan, sekitar 100-an sebelum SPBU Pasirjambu. Tak perlu khawatir tersesat. Ada banyak papan penunjuk yang akan memandu.
Ada 523 kepala keluarga yang tinggal di Sukamahi. Seperti warga Desa Mekarmaju lainnya, hampir semua warga di Kampung Sukamahi adalah perajin golok. Bahkan ibu-ibu dan para pemudanya.
Para ibu, umumnya bekerja sebagai maranggi, sebutan bagi mereka yang membuat perah atau gagang golok. Ada juga yang mengukir warangka atau sarung golok. Sebagian lainnya mengamplas. Ada juga yang mewarnai golok menggunakan pernis.
Namun, para pemuda, umumnya bekerja sebagai pembuat bilah golok. Mereka bekerja dari pagi, kadang hingga larut malam.
Namun, umumnya, mereka membuat golok dengan cara membentuknya dari pelat besi. Menggunakan cara ini, pembuatan golok bisa relatif cepat. Modelnya juga beragam, lebih kekinian dan tak terlalu terikat tradisi. Kopak rawing, sisit, dan salam nunggal, adalah beberapa di antaranya.
Selain golok-golok dari pelat besi yang dibuat secara cepat untuk memenuhi kebutuhan pasar, ada juga para perajin golok masih membuat golok dengan cara lama, yakni dengan cara ditempa. Namun, jumlahnya sudah tak banyak. Menurut Hudri Sulaeman (49), Ketua RW 03, Sukamahi, jumlahnya kini tinggal empat orang.
Turun-temurun
Salah satu perajin yang masih menguasai seni tempa tradisional Sukamahi adalah Abah Soim. Usianya mungkin sekitar 75 tahun, meski saat ditanya, Abah Soim keukeuh menyebut usianya tidak setua itu.
“Usia Abah masih 60 tahun,” ujar Soih serius, saat ditemui, Minggu (17/11/2024).
Di usianya yang tak lagi muda, Soim masih menempa ditemani cucunya di bengkel kerja mereka yang sederhana. Tangan tuanya masih tangkas mengayun palu godam yang berat memimpihkan batang besi membara hingga mencapai bentuk yang benar-benar sesuai dengan yang ia inginkan.
“Di sini hari Minggu tetap kerja. Liburnya hari Jumat,” ujarnya dalam bahasa Sunda yang kental.
Sohim mengaku, sudah membuat golok sejak masih duduk di bangku sekolah dasar. Seperti warga Kampung Sukamahi lainnya, ia belajar secara otodidak. Bermodal melihat dan mendengar.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.