Aliansi Masyarakat Jabar Kecam Kekerasan dari Oknum Kepolisian saat Demo Kawal RUU Pilkada 

Dalam laporan sementara Aliansi Masyarakat Sipil Jawa Barat hingga Jumat malam, diduga korban kekerasan mencapai ratusan orang.

Penulis: Nappisah | Editor: Muhamad Syarif Abdussalam
tribunjabar.id / Gani Kurniawan
Ribuan mahasiswa dan elemen masyarakat menggelar unjuk rasa di depan Gedung DPRD Jawa Barat, Jalan Diponegoro, Kota Bandung, Jawa Barat, Jumat (23/8/2024). Aksi ini kembali dilakukan dalam rangka mengawal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang ambang batas Pilkada dan menolak revisi Undang-Undang Pilkada oleh Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (Baleg DPR). Selain itu mereka juga menolak dinasti politik Presiden Joko Widodo (Jokowi). 

Laporan Wartawan Tribun Jabar, Nappisah

TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG -  Aliansi Masyarakat Jawa Barat mengecam kekerasan yang dilakukan oknum polisi pada saat demo di depan Gedung DPRD Jabar selama dua hari, Kamis-Jumat (22-23/8/2024) kemarin. 

Aksi tersebut antara lain dipicu suatu muslihat Badan Legislasi DPR yang berupaya menganulir putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan 70/PUU-XXII/2024. Lebih dari itu, demonstrasi masyarakat sipil di Bandung sejatinya bagian dari puncak kemuakan atas rentetan praktik penghancuran demokrasi yang terjadi sepanjang rezim Jokowi. 

Mereka menilai kekerasan yang dilakukan polisi lewat berbagai cara, dari mulai pengamanan berlebihan, penembakan gas air mata, penganiayaan fisik seperti pemukulan memakai benda keras, pengeroyokan, pengepungan, pengejaran dan penyisiran terhadap massa yang telah membubarkan diri, intimidasi verbal, pelarangan liputan, dan perlakuan-perlakuan brutal lainnya.

Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung, Iqbal T Lazuardi, menyayangkan apa yang dilakukan oleh oknum polisi kepada wartawan Pikiran Rakyat (PR), usai meliput demo penolakan revisi UU Pilkada di depan kantor DPRD Jawa Barat (Jabar), Kamis (22/8).

"Ini kami sayangkan, dalam UU Pers secara jelas dilarang untuk dihalangi apalagi ini sampai mendapat kekerasan," Katanya, di Kampus Unisba, Sabtu, (24/08).

Menurutnya, bahwa wartawan tersebut harus menghapus file dalam handphonenya. 

"Mendapat enam laporan dari media. Ketika mereka sedang melakukan peliputan diintimidasi dengan kata-kata mengancam. Ini pun sama, penyensoran kerja jurnalistik, ini bukan terjadi kali ini saja.” 

Baca juga: Nasib Malang Mahasiswa yang Matanya Terkena Lemparan Batu saat Demo Revisi UU Pilkada di DPRD Jabar

Lebih lanjut dirinya menyebut bahwa, selama pemerintahan Jokowi ini. Seringkali, wartawan yang mendapat perlakuan persekusi. 

Dirinya pun mengecam tindakan-tindakan seperti itu, pasalnya seorang jurnalis itu saat melakukan tugas peliputan sudah dilindungi dengan undang-undang Pers. 

"Di dua aksi besar sebelumnya polanya sama, bukan di Bandung hampir di seluruh massa aksi di seluruh Indonesia polanya sama,” ucapnya. 

“Tentu dengan tindakan ini kami sangat mengecam, dan mengutuk aksi yang menyensor kebebasan pers. Sangat mencoreng dari aksi kebebasan pers sendiri,”tandasnya. 

Perlu dipahami, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers memberikan jaminan perlindungan hukum terhadap jurnalis dalam menjalankan profesinya.

Jaminan ini kemudian dipertegas dalam Peraturan Dewan Pers Nomor 5 Tahun 2008 tentang Standar Perlindungan Profesi Wartawan.

Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers) yakni pasal Pasal 18 ayat (1) UU Pers di mana menghalangi wartawan melaksanakan tugas jurnalistik dapat dipidana 2 tahun penjara atau denda paling banyak Rp500 juta. 

Sementara itu, Ketua BEM Unisba, Ramdan, mengatakan banyak sekali kekerasan oleh pihak kepolisian yang menyebabkan pembungkaman  masyarakat sipil. 

"Demokrasi sebenarnya adalah sebuah sikap, yang kita rindukan dalam konteks demokrasi  memperoleh pandangan dari pemimipin. Kita ke DPRD ingin ngobrol dengan seluruh pimpinan DPRD Jawa Barat, namun sampai malam tidak ada yang menemui massa aksi,” katanya. 

Dalam laporan sementara Aliansi Masyarakat Sipil Jawa Barat hingga Jumat malam, diduga korban kekerasan mencapai ratusan orang. 

Saat demonstrasi hari Kamis, misalnya, korban yang sempat dievakuasi ke kampus Unisba mencapai 16 orang. Dalam laporan lainnya, sebanyak 7 orang dilarikan ke rumah sakit. Sekira 25 orang ditangkap polisi dan sebanyak 2 orang diduga jadi korban penyanderaan kendaraan.

Jumlah korban di hari Jumat justru semakin bertambah. Sekitar 100 orang diduga jadi korban kekerasan. Sebanyak 88 orang diketahui mengalami luka-laku, dan 1 orang harus dilarikan ke rumah sakit. Ada 12 orang lainnya yang ditangkap polisi.

Penyiksaan yang dilakukan oleh oknum aparat kepolisian ketika aksi demonstrasi di Bandung adalah tindakan pelanggaran hukum dan melanggar peraturan internal Kapolri itu sendiri. 

Dalam peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 jelas disebutkan bahwa pihak kepolisian tidak boleh terpancing, tidak boleh arogan, tidak boleh melakukan kekerasan bahkan di saat situasi kerumunan massa tidak terkendali. 

Pihaknya mengutuk tindakan brutal polisi terhadap masyarakat sipil di Kota Bandung, dan menegaskan sikap bersama:

1. Mengecam segala bentuk represivitas aparat. 

2. Mendesak Kapolri mengevaluasi perilaku dan tindakan brutal anak buahnya dalam menghadapi aksi massa. 

3. Mendesak semua pihak terutama kepolisianmenghormati kerja-kerja jurnalis termasuk persmasesuai UU Pers. 

4. Mendesak pihak kepolisian turut menjaga keselamatan paramedis dan pembela HAM.

5. Mendesak pihak kepolisian secara serius menghargai kebebasan berpendapat sebagai bagian dari HAM, bukan malah menyempitkan ruang kebebasan sipil tersebut. (*) 

 

Sumber: Tribun Jabar
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved