2 Oknum Guru Lakukan Kekerasan Seksual di Pondok Pesantren di Agam, 43 Santri Laki-laki Jadi Korban

Jumlah korban dugaan pencabulan terhadap santri laki-laki bertambah menjadi 43 dari sebelumnya 40 orang.

shutterstock via Kompas.com
ilustrasi kekerasan seksual di pesantren 

TRIBUNJABAR.ID, AGAM - Puluhan santri jadi korban kekerasan seksual di sebuah pondok pesantren.

Dua guru ditetapkan sebagai tersangka.

Para santri yang menjadi kroban kekerasan seksual tersebut merupakan santri laki-laki.

Peristiwa tersebut terjadi di Kabupaten Agam, Sumatera Barat.

Baca juga: Sebuah Mobil Masuk Kuburan di Banyumas, Membawa Bantuan dari Surabaya untuk Pondok Pesantren

Kini, para korban mengalami trauma mendalam, bahkan salah satu korban terdampak stigma.

Kekerasan seksual ini terungkap saat salah satu wali melpaor ke Polresta Bukittinggi, Juli silam.

Polisi kemudian menangkap dua terduga pelaku berinisial RA, pria berusia 29 tahun, dan AA, pria berusia 23 tahun, pekan lalu.

Dalam perkembangan terbaru, jumlah korban dugaan pencabulan terhadap santri laki-laki bertambah menjadi 43 dari sebelumnya 40 orang.

"Korban hingga Jumat (02/08) bertambah jadi 43 orang. [Tiga] korban baru ini didapat dari hasil pemeriksaan saksi dan tersangka," ujar Kasi Humas Polresta Bukittinggi, Iptu Marjohan, kepada wartawan di Sumatra Barat, Halbert Caniago, yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Jumat (02/08).

MTI Canduang – pesantren setingkat sekolah menengah pertama (SMP) tempat terjadinya dugaan kekerasan seksual – menegaskan pihaknya “sangat serius” menangani kasus ini dan “tidak menutup-nutupi apa yang terjadi”.

Upaya yang dilakukan adalah dengan membentuk investigasi internal. Hasilnya, menurut pihak MTI , tiga di antara 40 korban diduga mengalami sodomi, sementara 37 lainnya diduga mengalami pencabulan.

Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Kabupaten Agam kini melakukan pendampingan dan penyembuhan trauma terhadap para korban

Namun kuasa hukum salah satu korban, Masrizal, mengeklaim kliennya tak hanya mengalami trauma akibat kejadian tersebut. Setelah memutuskan keluar dari MTI, kata Masrizal, kliennya kesusahan mendapatkan sekolah baru.

“Setiap pesantren yang dikunjungi oleh orang tua klien saya ini menolak siswa dari MTI ," ujar Masrizal, Kamis (01/08).

Kronologi versi korban

Halaman
1234
Sumber: Tribun Jateng
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved