Muhibah Budaya Jalur Rempah 2024

Hari Keempat: Angin yang Lebih Kencang dan Ombak yang Lebih Kuat

HARI keempat Muhibah Budaya Jalur Rempah 2024, Kamis, 20 Juni, diawali dengan badai. Badai itu menggoyang KRI Dewaruci sekitar pukul 02.00.

Penulis: Hermawan Aksan | Editor: Hermawan Aksan
Tribun Jabar/Hermawan Aksan
Sejumlah peserta gagal menyaksikan sunset dari KRI Dewaruci karena matahari tertutup awan, Kamis (20/6/2024) 

Laporan Wartawan Tribunjabar.id Hermawan Aksan

HARI keempat Muhibah Budaya Jalur Rempah 2024, Kamis, 20 Juni, diawali dengan badai. Badai itu menggoyang KRI Dewaruci sekitar pukul 02.00. Hujan turun deras. Tapi kami tidak bisa melihat seberapa deras hujan yang turun dan seberapa tinggi ombak yang menghantam. Semua jendela ditutup dan terpal yang tadinya dipasang di geladak atas dilipat. Kami hanya merasakan goyangan kapal yang lebih hebat daripada sebelumnya. Di tempat tidur, kami agak terguling-guling ke kiri dan ke kanan.

Untunglah badai itu tidak berlangsung lama dan kami bisa tidur lagi dengan goyangan kapal yang lebih lembut.

Jam di ponsel saya ternyata bertambah satu jam secara otomatis. Mungkin karena kami sedang melewati wilayah yang dekat dengan Malaysia sehingga waktu yang tercantum adalah waktu Malaysia alias Waktu Indonesia bagian Tengah. Menjelang siang, barulah jam saya kembali secara otomatis ke Waktu Indonesia bagian Barat.

Meskipun ombak sudah kembali ke semula, pagi-pagi diketahui ada anggota Laskar Rempah yang mabuk, bahkan sampai muntah-muntah. Selain itu, ada dua anggota Laskar Rempah yang jatuh sakit sehingga tidak bisa mengikuti kegiatan pagi di geladak atas.

Baca juga: Hari Pertama: Dari Bumiayu Menuju Dumai, sebelum Pelayaran Panjang hingga ke Malaka Malaysia

Salat Subuh tidak bisa dilakukan secara berjemaah di geladak atas, seperti kebiasaan di KRI Dewaruci, karena gerimis masih turun dan lantai geladak basah, jadi saya pun melaksanakan salat di sela-sela tempat tidur. Untungnya, saat itu kiblat searah dengan haluan sehingga saya bisa melaksanakan salat secara lebih leluasa meskipun dengan goyangan kapal yang lebih kuat daripada kemarin.

Sebenarnya, menurut jadwal, pukul 6 pagi para peserta MBJR 2024 melaksanakan olahraga, dilanjutkan dengan makan pagi pukul 7.

Namun, bahkan pukul lima, makan pagi sudah siap dan banyak teman peserta yang sudah makan. Tadinya saya akan makan setelah pukul 6. Rasanya aneh sarapan pagi pukul lima. Tapi, dengan pertimbangan takut kehabisan, seperti yang terjadi pada makan malam kemarin, kami makan juga pukul setengah 6. Lauknya, seperti sudah diduga, adalah sayur dan telur ayam dadar, masing-masing dapat sepotong yang menurut perkiraanku lebih kecil daripada jika masing-masing dapat sebutir.

Satu jam kemudian, gerimis sudah reda dan langit cerah. Kami melaksanakan senam, dipandu bergantian oleh anggota Laskar Rempah. Gerakannya terasa kurang sistematis, apalagi jika dibandingkan dengan gerakan oleh instruktur senam profesional. Tapi tidak terlalu menjadi masalah. Yang penting bergerak, bersemangat, dan meriah.

Baca juga: Hari Kedua: Pembekalan Berharga sebelum Membelah Laut dengan Kapal Dewaruci

Pagi ini angin bertiup cukup kencang, dibandingkan dengan kemarin yang nyaris tidak terasa ada tiupan angin. Mungkin itu sebabnya saya tidak berkeringat meskipun cukup bersemangat melakukan senam pagi dan matahari sesekali muncul dari balik awan.

Sekitar pukul setengah sembilan, terpal dipasang lagi di geladak atas. Pembekalan kali ini merupakan tema lanjutan tentang perkenalan dengan KRI Dewaruci oleh dua awak kapal.

Saya tidak mengikuti sampai selesai acara itu karena ingin menulis. Karena nyaris tidak ada tempat yang nyaman untuk menulis, saya dan Yudhi Herwibowo menulis di lantai di antara sela-sela tempat tidur, dengan tempat tidur paling bawah sebagai tempat alas laptop. Posisi demikian ternyata lumayan nyaman meskipun sesekali terhenti karena ada orang lewat.

Rupanya, saat itulah hujan turun lagi. Para anggota Laskar Rempah kembali masuk ke ruang tidur. Untunglah hujan berlangsung hanya belasan menit dan tidak terjadi badai. Para anggota Laskar Rempah pun, baik laki-laki maupun perempuan, mengikuti pembekalan di ruang tidur laki-laki.

Baca juga: Hari Ketiga: Meninggalkan Dumai, Membelah Laut, dan Kehilangan Sinyal Internet

Seperti ketika makan pagi, makan siang pun berlangsung lebih awal, yakni mulai sekitar pukul sebelas. Kali ini lauknya malah dobel, yaitu sayur dengan ayam goreng dan daging rendang. Kabarnya ada anggota Laskar Rempah yang membawa rendang dari rumahnya. Barakallah.

Siang hari ini KRI Dewaruci melampaui perairan Medan, Sumatra Utara. Berbeda dengan perairan di Dumai yang cokelat, kemudian lebih utara berubah menjadi kehijauan, perairan di Medan ini berwarna kehitaman. Apakah warna hitam menunjukkan air laut yang kotor, entahlah.

Di area ini, mungkin karena daratan Pulau Sumatra terlihat, sinyal internet muncul lagi. Ketika berangkat dari Dumai, ada awak kapal yang mengatakan bahwa sepanjang masih terlihat pulau, maka sinyal internet masih akan ada. Pesan-pesan Whatsapp dan notifikasi Facebook bermunculan. Sayangnya, kegembiraan kami karena ada sinyal internet tidak berlangsung lama dan saya tidak sempat bisa mengirim tulisan buat Tribunjabar.id.

Berbeda dengan pelayaran di hari pertama, di pelayaran hari kedua ini angin bertiup lebih kencang dan ombaknya lebih besar. Hampir sepanjang perjalanan goyangan kapal pun lebih kencang daripada kemarin.

Saya pernah beberapa kali bermimpi melaksanakan salat dengan lantai yang goyah sehingga tubuh pun bergoyang-goyang. Saat bangun saya tidak tahu menjalankan salat di mana dalam mimpi itu. Hari ini saya seakan-akan mengalami déjà vu saat menunaikan salat Zuhur, Asar, serta Magrib dan Isya yang bergoyang-goyang karena permukaan lantai kapal yang goyah lantaran ombak laut.

Sehabis Asar, para anggota Laskar Rempah mengikuti acara “diskusi dengan pakar”, kali ini bersama Dr. Daya Negri Wijaya, bertempat di geladak atas. Saya sempat mandi dan salat Asar sebelum bergabung dengan mereka sebagai pendengar. Sayangnya, suara Mas Daya kurang terdengar jelas karena kadang tertimpa suara mesin kapal dan embusan angin.

Di tengah acara itu setidaknya empat anggota Laskar Rempah mengalami mabuk laut. Tiga di antaranya memuntahkan isi perut mereka ke laut melalui tepi pagar. Satu lainnya dipijat temannya dan dibaluri dengan minyak kayu putih.

Seperti kemarin, sore ini awan menutupi bidang langit, termasuk matahari. Akibatnya, saya gagal lagi menyaksikan sunset.

Malam ini kapal akan memasuki wilayah Aceh dan, menurut kabar yang diterima dari awak kapal, ombaknya lebih ganas. (*)

Sumber: Tribun Jabar
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved