Muhibah Budaya Jalur Rempah 2024
Hari Kedua: Pembekalan Berharga sebelum Membelah Laut dengan Kapal Dewaruci
Sebelum berangkat berlayar dengan Kapal Dewaruci, para peserta Muhibah Budaya Jakur Rempah 2024 mendapat pembekalan dari sejumlah pakar.
Penulis: Hermawan Aksan | Editor: Hermawan Aksan
Laporan Wartawan Tribunjabar.id Hermawan Aksan
DUA malam kami, peserta Muhibah Budaya Jalur Rempah (MBJR) 2024, mempersiapkan diri di Kota Dumai, sebuah kota di Provinsi Riau, yang jaraknya sekitar 201 km ke arah utara dari Kota Pekanbaru. Karena baru pertama kali menginjakkan kaki di kota ini, saya pun ingin mencium udara dan merasakan suasana pagi.
Karena itu, sambil mencari toko yang sudah buka, sekitar pukul tujuh saya dengan teman sekamar di hotel tempat kami menginap, penulis Yudhi Herwibowo asal Solo, Jawa Tengah, berjalan-jalan menyusuri trotoar. Jalan Jenderal Sudirman, jalan protokol di Kota Dumai, yang satu sisinya terbagi menjadi empat jalur, terasa sangat lebar dibandingkan dengan jumlah kendaraan yang melewatinya.
Kami menemukan sebuah toko yang sudah buka dan membeli keperluan sehari-hari yang belum sempat dilengkapi untuk keperluan menjalani pelayaran.
Kota Dumai, yang konon berawal dari sebuah dusun kecil di pesisir timur Provinsi Riau, tumbuh menjadi kota dengan wilayah administrasi terluas kedua di Indonesia berdasarkan statusnya sebagai kotamadya, setelah Kota Palangka Raya.
Baca juga: Hari Pertama: Dari Bumiayu Menuju Dumai, sebelum Pelayaran Panjang hingga ke Malaka Malaysia
Kota Dumai merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Bengkalis dan diresmikan sebagai kota pada 20 April 1999, dengan UU No. 16 tahun 1999 tanggal 20 April 1999, setelah sempat menjadi kota administratif (kotif) di dalam Kabupaten Bengkalis.
Muhibah Budaya Jalur Rempah adalah perjalanan dengan Kapal Republik Indonesia (KRI) Dewaruci mengarungi laut di seputar Selat Malaka dengan total perjalanan 40 hari. Semua peserta dibagi menjadi tiga batch. Batch 1 sudah menjalani rute Jakarta, Belitung, Dumai. Saya tergabung di Batch 2, yang akan menjalani rute dari Dumai menuju Sabang di Provinsi Aceh, kemudian Malaka di Malaysia, dan berakhir di Tanjung Uban, Provinsi Kepulauan Riau. Nantinya, peserta Batch 3 akan menjalani rute dari Tanjung Uban menuju Lampung dan berakhir di Jakarta.
Setiap batch, termasuk Batch 2, terdiri atas sebagian besar mahasiswa dan sarjana yang belum lama lulus, yang terpilih berdasarkan seleksi, serta para jurnalis dan profesional, yang dipilih berdasarkan undangan. Saya termasuk peserta undangan. Kelompok pertama, yang sebagian besar mahasiswa, dinamai Laskar Rempah. Kami, para peserta undangan, secara tidak resmi disebut kelompok pendukung
Karena panjangnya perjalanan di laut, dengan peserta yang bukan orang-orang laut, tentu saja pembekalan sebelum berlayar menjadi keharusan.
Selain mendapat pembekalan pengetahuan tentang kapal yang akan kami naiki, kami juga memperoleh pembekalan mengenai berbagai pengetahuan yang mendukung MBJR, sebagai latar belakang terselenggaranya muhibah ini.
Pembekalan berlangsung di Hotel Grand Zuri, hotel berbintang empat yang merupakan salah satu hotel terbesar di Kota Dumai.
Pembekalan pertama diberikan oleh Miftah Roma Uli Tua, Pamong Budaya Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah 1 Aceh, yang antara lain menceritakan sejarah rempah di Aceh sebagai alat diplomasi dengan negara-negara lain, khususnya Turki. Salah satu usulan menarik dari Miftah adalah membangun kapal baru dengan cara meniru kapal bersejarah Cakradonya sebagai ganti Dewaruci yang sudah tua.
Pembekalan berikutnya disampaikan oleh Nasrul Hamdani dari Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah II Sumatra Utara, yang di antaranya mengharapkan agar program MBJR akan membentuk cara pandang baru soal rempah. Nasrul mengungkapkan rasa prihatinnya bahwa Indonesia sekarang harus mengimpor sejumlah rempah dari luar negeri.
Seusai istirahat siang, pembekalan diberikan oleh Letnan Kolonel Laut Rhony Lutfiandhami, Komandan KRI Dewaruci. Selain memberikan gambaran secara singkat tentang KRI Dewaruci, Rhony juga menjawab sejumlah pertanyaan peserta, termasuk hal-hal yang akan dihadapi perempuan, yakni menstruasi, dalam hal ini terkait dengan bagaimana cara membuang pembalut bekas pakai.
Pembekalan keempat, atau terakhir, diberikan Dr. Daya Negri Wijaya, dosen senior Departemen Sejarah Universitas Negeri Malang, yang menekankan tentang sejarah Malaka dalam kaitannya dengan negeri-negeri di sekitarnya.
Para peserta, setidaknya saya, serasa mendapat materi kuliah di perguruan tinggi. “Kelamaan,” kata salah seorang rekan peserta.
Malamnya, kami mendapat waktu yang bebas untuk sekadar jalan-jalan atau beristirahat.
Saya memilih jalan-jalan sekadarnya, bersama dua teman saya yang sama-sama penulis, Yudhi Herwibowo asal Solo dan Debby Loekito asal Bali. Ni Putu Dewi Kharisma Michellia, yang sedianya juga akan ikut, batal karena harus mengikuti sebuah rapat Zoom.
Kami benar-benar berjalan kaki sekitar 400 meter, menikmati malam cerah di jalan protokol yang lebar dan bersih sertalengang untuk ukuran sebuah kota. Kendaraan berlalu lalang dengan kecepatan rendah hingga sedang dan tidak terlihat kemacetan seperti umumnya kota-kota di Pulau Jawa. Begitu lancarnya lalu lintas di kota ini, bahkan di bagian yang cukup ramai, terdapat parkir sepeda motor tiga lapis dan jalan yang tersisa bagi kendaraan yang lewat tetap lancar.
Setelah itu, kami mencoba naik becak motor (bentor), yang bisa melaju santai di bahkan ketika di tengah jalan, tanpa ada mobil yang membunyikan klakson untuk melewatinya.
“Bentor ini kalau bayar pajak seperti motor biasa?” tanya saya.
“Semua bentor di sini tidak ada yang plat nomornya masih hidup,” jawab pengemudi bentor.
Saya terkejut. “Tidak takut polisi?”
“Tak pernah ada yang ditilang polisi.”
Demikianlah, rasanya begitu damai tinggal di Kota Dumai.
Namun, situasi yang penuh tanda tanya berkecamuk di kepala saya membayangkan dimulainya pelayaran di hari ketiga. (*)
Hari Ke-20: Hari Terakhir Muhibah Budaya Jalur Rempah, Tangis Kembali Tumpah |
![]() |
---|
Hari Ke-19: Pagi Terakhir di KRI Dewaruci dan Malam Pembukaan Festival Raja Ali Haji |
![]() |
---|
Hari Ke-18: Lego Jangkar di Tanjung Uban, Tangis Peserta Muhibah pada Malam Terakhir di KRI Dewaruci |
![]() |
---|
Hari Ke-17: Mencium Udara Hari Terakhir di Malaka dan Melanjutkan Muhibah ke Tanjung Uban |
![]() |
---|
Hari Ke-16: Jumpa Sahabat di Malaysia, Kunjungi Masjid Selat Melaka, dan Hadiri Farewell Dinner |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.