"Kalau yang diekspor cuma konsentrat maka rendah, tapi kalau yang diekspor timah, emas, tembaga maka nilai tambahnya akan tinggi. Kalau relaksasi tetap diberikan, maka Indonesia sebenarnya menanggung opportunity cost atau biaya yang harus ditanggung karena kehilangan kesempatan untuk menaikkan nilai tambah," ungkapnya.
Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan (Pushep) Bisman Bakhtiar menilai, sebenarnya jauh lebih penting dan berharga jika Indonesia mampu menjadi pengendali dan menjadi pihak yang dapat mengambil keputusan untuk berdaulat atas korporasi ini dan pengelolaan tambang di Papua, daripada memiliki saham mayoritas tetapi tidak bisa menjadi pengendali.
"Jadi Freeport ini "anak BUMN" namun rasanya bukan rasa BUMN dan bukan rasa Indonesia karena masih full rasa asing, sehingga pejabat kita masih betapa sibuk memfasilitasi Freeport dengan perpanjangan dan bahkan harus mengubah PP," kata Bisman. (*)
Artikel ini telah tayang di Kontan.id
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.