Demi Jurnalisme Berkualitas, Menkominfo: Pasal RUU Penyiaran yang Larang Investigasi Harus Ditolak

Budi Arie juga menyebutkan bahwa pemerintah berkewajiban untuk melindungi kemerdekaan pers dan bagaimana meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia.

Tribunnews.com/Ibriza
Menteri Komunikasi dan Informatika, Budi Arie Setiadi, menghadiri acara Mata Lokal Fest yang digelar Tribun Network, di Menara Peninsula Hotel, Jakarta, pada Jumat (17/5/2024) malam. 

TRIBUNJABAR.ID - Revisi Undang-undang (RUU) Penyiaran saat ini menjadi perdebatan sejumlah pihak.

Penolakan terhadap RUU Penyiaran ini terutama dilayangkan oleh Dewan Pers. 

Menanggapi hal itu, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Budi Arie Setiadi, buka suara mengenai persoalan Revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.

Budi Arie Setiadi mengatakan bahwa pemerintah tidak ingin RUU Penyiaran membungkan pers di Tanah Air.

Terlebih, menurutnya, kemerdekaan pers berkaitan dengan peningkatan kualitas demorkasi Indonesia.

Budi Arie juga menyebutkan bahwa pemerintah berkewajiban untuk melindungi kemerdekaan pers dan bagaimana meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia.

"Jadi jurnalisme yang berkualitas lahir dari jurnalisme yang investigatif," 

"Karena itu posisi pemerintah, kita tidak mau RUU Penyiaran ini menjadi wajah baru pembungkaman pers di Indonesia," ucap Budi Arie, usai menghadiri acara Mata Lokal Fest yang digelar Tribun Network, di Menara Peninsula Hotel, Jakarta, Jumat (17/5/2024) malam.

Sementara itu, terkait larangan jurnalisme investigasi yang tercantum pada Pasal 50B ayat (2) huruf c RUU Penyiaran, Menkominfo menyatakan hal tersebut harus ditolak.

"Ya harus (tidak disetujui). Kita mau jurnalisme berkualitas. Jurnalisme berkualitas emang omon-omon? Emang feeling? Ya, kan? Pasti investigasi, dong," katanya.

Baca juga: Para Jurnalis Taburkan Kembang di atas Kartu Pers di Depan Gedung DPRD Cirebon, Protes RUU Penyiaran

Sebelumnya, Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu menyatakan pihaknya bersama seluruh konstituen menolak RUU Penyiaran yang tengah ramai diperdebatkan

Ninik mengkritik penyusunan RUU Penyiaran karena tak memasukkan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dalam konsideran.

"(Ini) mencerminkan bahwa tidak mengintegrasikan kepentingan lahirnya jurnalistik yang berkualitas sebagai salah satu produk penyiaran termasuk distorsi yang akan dilakukan melalui saluran platform," katanya di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Selasa (14/5/2024).

Ia memandang RUU Penyiaran menyebabkan pers tidak merdeka, independen, serta tak akan melahirkan karya jurnalistik yang berkualitas.

"Karena dalam konteks pemberitaan, Dewan Pers berpandangan perubahan ini jika diteruskan sebagian aturan-aturannya akan menyebabkan pers menjadi produk pers yang buruk, pers yang tidak profesional dan tidak independen," kata Ninik.

Menurutnya, proses RUU Penyiaran menyalahi Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yakni penyusunan sebuah regulasi yang harus 'meaningful patricipation'.

"Maknanya apa? Harus ada keterlibatan masyarakat, hak masyarakat untuk didengar pendapatnya, hak masyarakat untuk dipertimbangkan pendapatnya," tuturnya,

Ia menyebut Dewan Pers dan konstituen juga tidak dilibatkan dalam proses penyusunan RUU Penyiaran.

Sementara secara substantif, ia menegaskan, RUU Penyiaran sangat bertentangan dengan Pasal 4 dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Pasalnya, RUU Penyiaran mengatur larangan untuk menyiarkan konten ekslusif jurnalisme investigasi.

Baca juga: Ninik Rahayu: Revisi UU Penyiaran Bakal Mengancam Demokrasi dan Memberangus Kebebasan Pers 

"Karena kita sebetulnya dengan UU 40 tidak lagi mengenal penyensoran, pembredelan dan pelarangan-pelarangan penyiaran terhadap karya jurnalistik berkualitas," ungkap Ninik.

Kemudian, terkait penyelesaian sengketa jurnalistik dalam RUU Penyiaran justru akan dilakukan lembaga yang tidak punya mandat terhadap penyelesaian etik karya jurnalistik.

"Mandat penyelesaian karya jurnalistik itu ada di Dewan Pers dan itu dituangkan dalam undang-undang," ungkap Ninik.

Ninik meminta agar penyusunan peraturan perundang-undangan perlu dilakukan harmonisasi agar tidak tumpang tindih.

Apalagi, jelasnya, pengaturan penyelesaian sengketa jurnalistik juga diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 32 tahun 2024.

"Pemerintah saja mengakui, kenapa di dalam draf ini penyelesaian sengketa terkait dengan jurnalistik justru diserahkan kepada penyiaran?" katanya. (*)

Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com

 

Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved