Pilpres 2024

Pengamat Politik Ragukan PDIP Berani Jadi Oposisi, Ini Alasannya

Ujang melihat pemerintah Prabowo-Gibran bakal sangat kuat dengan total sembilan partai pengusung ditambah dengan bergabungnya NasDem dan PKB.

Editor: Hermawan Aksan
Istimewa
Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin, mengatakan PDIP dan PKS bakal menjadi oposisi yang kuat mengingat pengalaman mereka sebagai partai oposisi. 

TRIBUNJABAR.ID, JAKARTA - Bergabungnya NasDem dan PKB dalam barisan pendukung pasangan Prabowo-Gibran membuat hanya dua partai tersisa, yakni PDIP dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), yang belum menentukan sikapnya, apakah menjadi oposisi atau bergabung dalam koalisi. 

Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin, mengatakan PDIP dan PKS bakal menjadi oposisi yang kuat mengingat pengalaman mereka sebagai partai oposisi.

“Saya sih membayangkan kelihatannya kalau PKS ada di luar pemerintahan, maka oposisinya PDIP dan PKS,” kata Ujang saat dihubungi, Jumat (26/4/2024).

Komposisi PDIP dan PKS sebagai oposisi, menurut Ujang, akan menjadi oposisi yang bagus. 

Baca juga: Koalisi Pendukung Prabowo-Gibran Makin Gemuk, Khawatir Jatah Menterinya Terganggu, PKB Pun Merapat

"Satunya nasionalis, satunya Islam. Satunya sudah terjun jadi oposisi, PDIP. PKS juga punya pengalaman oposisi meskipun agak lentur,” ujarnya.

Ujang melihat pemerintah Prabowo-Gibran bakal sangat kuat dengan total sembilan partai pengusung ditambah dengan bergabungnya NasDem dan PKB yang sebelumnya mengusung lawan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dalam kontestasi Pilpres 2024.

Dengan demikian, menurutnya, partai oposisi dalam pemerintahan kali ini harus kuat. 

“Kalaupun PKS masuk pemerintahan Prabowo-Gibran, maka oposisinya satu, tinggal PDIP. Ya, oposisi akan lemah, akan kecil, akan sedikit,” tuturnya.

Meski demikian, di satu sisi Ujang melihat PDIP bakal tetap jadi partai yang galak dalam pemerintahan Prabowo-Gibran misalnya nanti menjadi oposisi.

Partai yang diketuai oleh Megawati Soekarnoputri itu pernah jadi oposisi yang garang di masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. 

Namun, pengamat politik lainnya, Emrus Sihombing, meragukan PDIP berani mengambil posisi politik sebagai oposisi pemerintahan Prabowo-Gibran.

Menurut Emrus, masih ada peluang terbuka bagi PDIP bergabung dengan koalisi partai-partai pendukung Prabowo-Gibran.

"Saya berpendapat bahwa PDI Perjuangan tidak bisa dipastikan mereka akan jadi oposisi. Karena bisa saja masuk ke pemerintahan," kata Emrus, kemarin.

Terbukanya peluang bagi PDIP itu, kata Emrus, karena hubungan baik yang masih terjalin antara Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dan Ketua Umum Partai Gerindra sekaligus presiden terpilih Prabowo Subianto.

"Karena relasi Megawati dengan Prabowo relatif tidak terganggu. Beda dengan relasi Megawati dengan Jokowi dan SBY, sangat terganggu," ucapnya.

Terlebih, menurut Emrus, PDIP telah memiliki pengalaman di pemerintahan pada dua periode terakhir.

"Karena relasi Megawati dengan Prabowo akan membuat kemungkinan besar terbuka peluang untuk gabung dengan pemerintah."

Ermus juga menilai, adanya kesamaan platform politik antara Megawati dan Prabowo. Keduanya dinilai Emrus sebagai sosok yang pluralis, cinta Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika.

"Mereka merah putih dan itu enggak bisa ditawar. Jadi ada platform politik yang sama. Namun sangat tergantung dari negosiasi di belakang panggung," jelas Emrus.

Pengamat Politik dari Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), Kristian Widya Wicaksono, mengatakan, jika benar PDIP akhirnya memutuskan untuk menjadi oposisi, PDIP akan menjadi penyeimbang yang sebanding terhadap pemerintah Prabowo-Gibran yang berkuasa kelak.

Terlebih PDIP adalah partai dengan raihan kursi terbanyak pada pileg lalu.

"Terutama jika PDIP secara cerdas bisa menghadirkan alternatif kebijakan yang berkualitas untuk jadi bahan pembanding terhadap kebijakan yang dipilih oleh pemerintah," ujarnya, kemarin.

PDIP pun, kata Kristian, pernah mempraktikkan politik oposisi pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2004-2014. 

"Dan mendulang hasilnya pada Pemilu 2014, 2019, dan 2024," ujarnya.

Terkait parpol yang merapat ke Prabowo-Gibran, kata Kristian, tentunya akan membuat koalisi semakin gemuk dan menuntut Prabowo-Gibran untuk mampu mengakomodasi kepentingan semua elemen kekuatan politik yang menjadi bagian dari koalisi tersebut. 

"Sudah pasti hal ini tidak mudah karena semua pihak akan meminta untuk mendapat jatah kue kekuasaan agar menyolidkan komitmen dukungan mereka terhadap pemerintah," katanya.

Satu saja pihak merasa disingkirkan, kata Kristian, dampaknya akan merembet kemana-mana dan memecah kohesivitas koalisi yang sudah dibangun. 

"Apalagi pihak tersebut merasa memiliki jasa besar terhadap keterpilihan Prabowo-Gibran. Tidak mudahnya merawat soliditas koalisi," katanya.

Kondisi ini yang mungkin menjadi pertimbangan Demokrat akhirnya menolak bergabungnya sejumlah partai lain dalam koalisi Prabowo-Gibran.

"Mereka khawatir, gemuknya koalisi menyebabkan pos-pos kekuasaan yang sudah dijanjikan akan dinegosiasikan ulang demi mengakomodir masuknya elemen-elemen kekuatan politik yang baru."

"Padahal koalisi pemerintah sendiri pada saat ini sudah begitu besar," katanya.

Ini berarti dari sisi kekuatan politik, Prabowo-Gibran, menurut Kristian seharusnya tidak perlu terlalu khawatir dengan pilihan PDIP menjadi oposisi pemerintah.

Sebab, kekuatan politik koalisi pemerintah Prabowo-Gibran jauh lebih heterogen sehingga melingkupi representasi ideologis yang beragam.

Hal ini akan menjadi kekuatan yang kokoh untuk menghadapi oposisi PDI-P. 

"Secara politik, kondisi ini akan mendukung berjalannya demokrasi secara sehat karena check and balance di antara pemerintah dan oposisi akan dimotori oleh kekuatan politik yang berimbang," ujarnya.

"Kita tentunya berharap kritik-kritik terhadap kebijakan pemerintah dapat digaungkan dengan cerdas oleh oposisi sebagai penyeimbang pemerintah."

"Dengan begitu, isu mengenai pembungkaman kritik dari mereka yang berbeda pendapat dengan pemerintah selama 10 tahun terakhir bisa diakhiri dan praktik demokrasi menjadi lebih maju, terbuka, dan beradab," katanya.

(tribunnetwork/nazmi abdurahman/mario christian/ibriza fasti)

Sumber: Tribun Jabar
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved