Kajian Islam
Arti Rebo Wekasan Tradisi di Bulan Safar yang Dilaksanakan Sebagian Umat Islam, Berikut Asal-usulnya
Rebo Wekasan kerap kali diperingati sebagian umat Islam dengan mengerjakan amalan di hari Rabu terakhir di bulan Safar, berikut arti dan asal-usulnya
Penulis: Hilda Rubiah | Editor: Hilda Rubiah
TRIBUNJABAR.ID - Tak lama lagi sebagian umat Muslim akan menyambut Rebo Wekasan.
Berdasarkan kalender Hijriah, Rebo Wekasan di Bulan Safar 1445 H ini jatuh pada Rabu 13 September 2023.
Rebo Wekasan kerap kali diperingati sebagian umat Islam dengan mengerjakan amalan di hari Rabu terakhir di Bulan Safar.
Seperti salat sunah Rebo Wekasan hingga membaca doa-doa tolak bala.
Mengerjakan amalan Rebo Wekasan diyakini sebagian muslim untuk menolak bala.
Lalu, apa arti Rebo Wekasan tersebut?
Baca juga: Tata Cara Salat Rebo Wekasan Dikerjakan Jelang Berakhir Bulan Safar, Lengkap dengan Doa Tolak Bala
Dilansir dari berbagai sumber, Rebo Wekasan disebut sebagai Rebo Pungkasan artinya hari rabu terakhir.
Rebo Wekasan kerap kali disambut sebagian umat Muslim di Bulan Safar.
Dengan demikian arti Rebo Wekasan ini merujuk istilah Rabu terakhir Bulan Safar.
Berdasar pada penanggalan Qomariyah, Bulan Safar, Rebo Wekasan jatuh setelah bulan Muharram atau sebelum bulan Rabiul Awal.
Di Indonesia, Rebo Wekasan merupakan bagian tradisi.
Tradisi Rebo Wekasan disebut juga dikenal sebagai Arba Mustakmir yaitu suatu hal yang bagi sebagian orang kerap dilakukan setiap tahun.
Dilansir dari Kompas.com, tradisi Rebo Wekasan ini turun temurun dilaksanakan di berbagai daerah di Indonesia mulai Sumatera, Jawa, Madura, Kalimantan, hingga Maluku.
Selama Rebo Wekasan dilakukan berbagai kegiatan dan amalan.
Seperti tahlilan (zikir bersama), berbagi makanan bersama, salat sunah lidaf’lil bala (tolak bala) dan memanjatkan doa tolak bala.
Asal-usul Rebo Wekasan
Ada beragam asal-usul tentang Rebo Wekasan ini.
Ada literatur yang menyebut tradisi Rebo Wekasan muncul bermula karena mitos soal bulan-bulan sial.
Konon ini masyarakat awam zaman dulu meyakini hari datangnya 320.000 sumber penyakit dan marabahaya 20.000 bencana.
Karena hal itu digelar upacara adat yang rata-rata dilaksanakan pada hari tertentu seperti neptu (kalender lunar Jawa) yang bersifat tolak bala.
Contoh-contoh upacara adat pada hari ini di Tanah Jawa.
Seperti Sedekah Ketupat, Sidekah Kupat di daerah Dayeuhluhur, Cilacap, Jawa Tengah.
Lalu, upacara Rebo Pungkasan, Wonokromo, Pleret, Bantul, Yogyakarta, Ngirab, di daerah Cirebonan, hingga Safaran di beberapa daerah.
Dilansir dari Kompas.com disadur dari Jabar.nu.or.id, asal-usul tradisi Rebo Wekasan muncul pada abad ke-17 pada masa Walo Songo.
Konon tradisi Rebo Wekasan tersebut merujuk pada hadis Rasulullah SAW soal pandangan tentang adanya keyakinan masyarakat Arab tentang kesialan atau keburukan pada Bulan Safar.
Oleh karena itu, banyak ulama kemudian lebih menekankan dengan menyebut dengan ‘Shafar al-Khair’ atau Bulan Safar yang baik.
Baca juga: Apa Arti Bulan Safar? Sering Dianggap Bulan Sial Sejak Zaman Nabi Ternyata Kebiasaan Orang Jahiliyah
Sementara tradisi yang dilaksanakan oleh masyarakat dalam menyambut Rebo Wekasan bersumber pada amaliah.
Seperti salat, zikir, doa, dan tabarruk.
Amalan di Rebo Wekasan dilakukan sebagai bentuk permohonan turunnya kebaikan dan dan perlindungan dari segala macam musibah dan cobaan dari Allah SWT.
Hukum Rebo Wekasan
Karena bagian dari tradisi yang tak terdapat sumber dalil dari hadis, sebagian besar ulama menegaskan hukum Rebo Wekasan adalah bid’ah.
Kini, tradisi Rebo Wekasan juga mengalami perubahan.
Biasanya tradisi ini dilakukan NU seperti salat sunah lidaf’lil bala (tolak bala), namun kini sejumlah kalangan ulama menyarankan tidak lagi diniatkan.
Namun, disarankan untuk mengerjakan salat sunah biasanya, seperti rawatib atau salat malam.
Meski begitu ada juga masyarakat mempertahankan menggelar Rebo Wekasan sebagai tradisi semata.
Di sisi lain, soal keyakan Bulan Safar sebagai bulan sial pernah dibahas Rasulullah SAW.
Sebagian masyarakat meyakini Bulan Safar penuh dengan kesialan dan malapetaka.
Keyakinan tersebut sudah ada sejak zaman Nabi yang tersebar di Bangsa Arab dan sebagai kebiasaan orang jahiliyah.
Sementara diketahui meyakini Safar sebagai bulan sial disebut sebagai jenis khurafat atau mitos.
Bahkan di Indonesia sendiri, anggapan Bulan Safat sebagai bulan sial pun masih ada diyakini sebagian masyarakat.
Seperti munculnya khurafat dan keyakinan lainnya seperti menghindari pernikahan, aqikah dan bepergian saat Bulan Safar.
Meski begitu, anggapan Safar sebagai bulan sial orang jahiliyah dan Bangsa Arab tersebut telah dibantah Rasulullah SAW dalam sebuah hadis.
Dalam hal ini Rasulullah SAW sudah memperingatkan umatnya agar tak percaya akan adanya bulan sial tersebut.
Rasulullah tidak sama sekali membenarkan menganggap Bulan Safar sebagai bulan sial.
Hal ini pun pernah disampaikan Rasulullah SAW, beliau bersabda:
“Tidak ada wabah dan tidak ada keburukan binatang terbang dan tiada kesialan Bulan Safar dan larilah (jauhkan diri) daripada penyakit kusta sebagaimana kamu melarikan diri dari seekor singa.” (HR. Bukhari).
“Tiada kejangkitan, dan juga tiada mati penasaran, dan tiada juga Safhar”, kemudian seorang badui Arab berkata:
“Wahai Rasulullah SAW, onta-onta yang ada di padang pasir yang bagaikan sekelompok kijang, kemudian dicampuri oleh Seekor onta betina berkudis, kenapa menjadi tertular oleh seekor onta betina yang berkudis tersebut ?”.
Kemudian Rasulullah SAW menjawab: “Lalu siapakah yang membuat onta yang pertama berkudis (siapa yang menjangkitinya)?” (HR. Bukhari dan Muslim).
Kemudian Rasulullah SAW bersabda, “Allah telah menetapkan takdir untuk setiap makhluk sejak lima puluh ribu tahun sebelum penciptaan langit dan bumi.” (HR. Muslim)
Musibah maupun kesialan seseorang sebagaimana terkandung dalam rukun Iman untuk meyakini qada dan qadar.
Sementara itu dalam Islam pun menganggap bulan tertentu sebagai bulan sial hukumnya syirik.
Perbuatan syirik adalah itikad menyamakan sesuatu selain Allah atau menyekutukan Allah.
Termasuk memalingkan bentuk ibadah dan ketentuan selain hal yang ditentukan Allah SWT.
Diketahui perbuatan syirik adalah satu di antara dosa besar yang tak diampuni Allah SWT.
Allah SWT telah berfirman dalam Al Quran Surat An Nisa : 48.
إِنَّ اللَّهَ لا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ
Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS. An Nisa : 48).
Dalam ayat tersebut dijelaskan, seseorang berjumpa Allah dalam keadaan musyrik maka tidak ada harapan baginya untuk mendapatkan ampunan Allah SWT.
10 Peristiwa Terjadi di Bulan Muharam Belum Banyak Diketahui Muslim, Termasuk Sejarah di Zaman Nabi |
![]() |
---|
Perbedaan Arti Walimatus Safar, Walimatul Hajj & Walimatul Umrah, Lengkap dengan Dalil dan Hukumnya |
![]() |
---|
Hukum Salat Tarawih Kilat, 23 Rakaat Cuma 5 Menit Apakah Sah? Berikut Penjelasan Ahli Hukum Islam |
![]() |
---|
Hukum Malam Nisfu Syaban yang Harus Diketahui, Jika Berjaga Sepanjang Malam untuk Beribadah, Haram? |
![]() |
---|
4 Kemuliaan Malam Nisfu Syaban yang Rugi Jika Diabaikan Umat Muslim, Malam Penentuan Nasib Manusia |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.