Sambil Nyuci Pakaian Dedi Mulyadi Berurai Air Mata Cerita Kisah Hidupnya, Kurang Tapi Bisa Berbagi

Di tengah kesibukannya sebagai wakil rakyat, Kang Dedi Mulyadi menghabiskan akhir pekan dengan beres-beres rumahnya

Editor: Ichsan
dok.dedi mulyadi
Sambil Nyuci Pakaian, Dedi Mulyadi Berurai Air Mata Ceritakan Kisah Hidupnya, Meski Sulit Bisa Berbagi 

TRIBUNJABAR.ID - Di tengah kesibukannya sebagai wakil rakyat, Kang Dedi Mulyadi menghabiskan akhir pekan dengan beres-beres rumahnya di Lembur Pakuan, Desa Sukasari, Kecamatan Dawuan, Kabupaten Subang, Minggu (2/10/2022).

Salah satu kegiatannya di hari Minggu ini adalah mencuci pakaian. Walau hidup di zaman modern, Kang Dedi Mulyadi tetap mempertahankan tradisi dengan mencuci baju secara manual alias di kamar mandi.

“Sekarang giliran nyuci. Sekali-kali kita nyuci walaupun zaman sekarang itu sudah ada mesin cuci, laundry, asisten rumah tangga, gak apa-apa sesekali karena kebetulan asisten rumah tangga saya Bi Yani sedang sakit, lagi hamil,” ucap Kang Dedi Mulyadi.

“Hidup ini kalau sudah terbiasa pedih, hidupnya berat, maka seberat apapun yang dihadapi ya biasa saja karena hidupnya sudah terbiasa. Orang yang terbiasa hidup berat, kerja keras, ya hidupnya rileks tidak ada ketakutan dalam dirinya,” kata Dedi Mulyadi, sambil beranjak menuju kamar mandi.

Baca juga: Kerusuhan Sepakbola Kembali Telan Korban Jiwa, Dedi Mulyadi Minta Stakeholder Segera Cari Solusi

Di dalam kamar mandi itu ia bercerita soal filosofi air. Baginya air itu sudah takdirnya mengalir dari atas ke bawah dan tak bisa dilawan. “Tapi bagaimana kita ini tidak jatuh tapi turun, kalau jatuh sakit. Kalau turun kita bisa mengatur langkah kita agar bisa turun dengan indah,” ucapnya.

Saat sedang mencuci pakaian itu Kang Dedi bercerita soal kehidupannya yang lahir dari keluarga sederhana bahkan terhitung berat. Ia lahir sebagai anak bungsu sembilan bersaudara dari pasangan Sahlin Ahmad Suryana dan ibunya Karsiti.

Sejak kelas satu SD, Kang Dedi sudah hidup sebagai penggembala kambing. Ia mendapat kambing dari hasil menjual cincin yang diperolehnya saat sunatan pada usia lima tahun.

Kang Dedi juga sudah mulai puasa full satu Bulan Ramadan sejak kelas 1 SD. Di momen itulah ia mulai teringat kepedihan yang dirasakannya saat kecil. Dimulai dari kepedihan hanya bisa sahur dengan sambal dan berbuka dengan kelapa tua.

Di balik kesederhanaan hidup itu ada sosok ibu Kang Dedi yang berhasil menjadi pengatur ekonomi keluarga sehingga seluruh anaknya bisa bersekolah. Padahal di zaman itu sekitar tahun 1974 terhitung jarang orang yang bisa menyekolahkan anak-anak mereka.

“Makannya diperoleh dari kerja keras kami untuk buka. Ada yang kadang makan sama belalang, kadang sama belut hasil mancing di sawah, atau makan udang dari sungai, tetapi ada tradisi kuat yang diajarkan adalah tradisi memberi,” ujar Dedi yang mulai berlinang air mata.

Salah satu tradisi berbagi saat Kang Dedi kecil adalah saat keluarganya bisa memotong ayam hasil ternak. Setiap potong ayam ayah Kang Dedi selalu mengamanahkan agar mengantarkan rantang isi sayur ayam kepada seorang anak yatim bernama Herman yang dikenal rajin mengaji dan azan di masjid.

“Walaupun kami hidup susah tapi rumah kami selalu disinggahi banyak orang. Ada satu malam tukang sol sepatu dari pagi sampai malam tidak laku dan tidak punya ongkos pulang, dan bapak menerimanya untuk menginap di rumah. Besoknya diberi makan dan diberi ongkos pulang,” ucap Dedi.

Baca juga: Ungkapan Isi Hati Terbaru Kang Dedi Mulyadi di Media Sosial Bikin Netizen Meleleh

Dedi Mulyadi tengah mencuci pakaian
Dedi Mulyadi tengah mencuci pakaian (dok.dedi mulyadi)

Tak hanya itu, ia pun teringat setiap sore selalu berkumpul di halaman rumah untuk makan sagon yang terbuat dari dedak dan gula. Di setiap sore itulah selalu datang tukang kayu bakar bernama Abah Manta. Namun karena zaman itu hampir semua warga terbiasa mencari kayu bakar sendiri membuat Abah Manta tak bisa menjual dagangannya.

Kayu bakar Abah Mantan pun selalu dibeli oleh orang tua Kang Dedi seharga empat liter beras. Bahkan kakak Kang Dedi yang sudah bekerja dan selalu membawa ikan asin peda selalu memberikan bawaannya itu kepada Abah Manta.

“Jadi tradisi memberi, membantu, bukan baru di kehidupan kami. Itu adalah ajaran dari bapak saya. Dari kekurangan yang kami miliki kami selalu merasa lebih sehingga selalu memberikan manfaat bagi orang lain,” kata pria yang identik dengan iket putih itu.

Sumber: Tribun Jabar
Halaman 1 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved