Guru Rudapaksa Santri

Herry Wirawan Tak Banyak Bantah dan Benarkan Perbuatan Bejat di Persidangan, Orang Tua Korban Syok

Kuasa hukum Herry Wirawan (36), Ira Mambo, menyebut kliennya bersikap kooperatif selama menjalani persidangan.

Penulis: Cipta Permana | Editor: Giri
ist/tribunjabar
Herry Wirawan, guru pesantren di Bandung yang merudapaksa 12 santriwatinya hingga melahirkan 8 bayi. 

Laporan wartawan TribunJabar.id, Cipta Permana

TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Kuasa hukum Herry Wirawan (36), Ira Mambo, menyebut kliennya bersikap kooperatif selama menjalani persidangan. Herry merupakan guru bejat yang merudapaksa belasan santrinya.

"Kalau selama persidangan sih terdakwa tidak banyak membantah atau banyak membenarkan bahwa peristiwanya seperti yang terjadi. Kami PH (penasihat hukum) bukan melulu membabi buta membela terdakwa. Namun memang sesuai dengan fakta persidangan," ujar Ira Mambo kepada wartawan, Kamis (9/12/2021).

Ira menjelaskan, pihaknya belum bisa memberikan keterangan mendalam berkaitan dengan perkara tersebut.

Sebab, perkara saat ini sudah masuk ke dalam proses persidangan.

"Mengenai pokok perkara yang didakwakan terjadinya perbuatan asusila itu, kami tetap masih tidak bisa memberikan informasi lebih dalam. Karena secara detailnya itu masih dalam praduga tak bersalah. Kami PH (penasihat hukum) tetap akan mengacu pada fakta persidangan dan juga nanti pemeriksaan keterangan dari saksi. Perkara asusila ini lebih jelasnya itu nanti di putusan," ucapnya.

Ira menuturkan perkara ini masih dalam tahap pemeriksaan saksi-saksi.

Sudah ada 40 saksi yang diperiksa.

"Jadi persidangan sudah memeriksa 40 saksi, itu termasuk korban, termasuk juga orang tua korban. Para korban didampingi juga lembaga sosial perlindungan anak, dan ada juga dari dinas. Kemudian kita juga tetap memenuhi prosedural, bahwa pada intinya memang ini kan masih proses pembuktian atau belum pada pokok perkaranya," ujarnya.

Ira menambahkan, dalam persidangan nanti, pihaknya tengah mengkaji apakah akan mengajukan saksi yang dapat meringankan hingga menggunakan ahli atau tidak.

Hal itu tergantung jalannya proses persidangan.

Herry Wirawan, guru ngaji bejat yang rudapaksa 12 santriwati di bawah umur hingga hamil.
Herry Wirawan, guru ngaji bejat yang rudapaksa 12 santriwati di bawah umur hingga hamil. (Istimewa)

"Tapi karena ini belum tuntas, maka ketika di proses persidangan, jaksa menilai sudah cukup, tentu kami tidak akan menghadirkan ahli. Mengenai saksi yang meringankan, maka kami harus menanyakan dulu ke terdakwa dan kayaknya kalau sekarang ditanyakan juga masih belum efisien karena harus komprehensif," katanya

Herry Wirawan merupakan terdakwa kasus rudapaksa para santrinya. Dia diketahui mengajar di beberapa pondok pesantren.

Bahkan, dari aksinya tersebut, empat orang telah melahirkan. Ada delapan anak yang dilahirkan dari perbuatan Herry Wirawan itu.

Ternyata, mayoritas korban berasal dari Garut meski tempat kejadian perkara berada di Kota Bandung,

Ada 11 santri berasal dari Garut.

Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Garut, Diah Kurniasari, mengatakan, asal muasal diketahuinya domisili para korban tersebut berdasarkan  hasil koordinasi dengan jajaran Polda Jawa Barat, yang menindaklanjuti laporan dari kepala desa dan para orang tua santri.

"Ada 11 santri perempuan yang menjadi korban dari Garut, namun berasal dari beberapa daerah berbeda, dan berbeda daerah dengan kades yang melaporkan ke P2TP2A Garut. Dari laporan itu diketahui ada yang punya anak (melahirkan) dan ada yang tengah hamil akibat perbuatan pelaku," ujar Diah dalam keterangan tertulis yang diterima TribunJabar.id, Kamis (9/12/2012).

Menurutnya, kasus rudapaksa yang dilakukan terdakwa sudah berlangsung lama, antara 2016 hingga 2021.

Diah menjelaskan pihaknya menerima informasi tersebut pada Juni 2021.

Bahkan pada Juni 2021 itupihaknya menerima laporan dari seorang kepala desa dan orang tua santri terkait adanya dugaan kasus pencabulan terhadap beberapa anak warga desanya yang jadi santri di sebuah pesantren di Bandung.

Sebelumnya, kepala desa sudah melaporkan kasus tersebut ke Polda Jawa Barat.

Saat pihaknya menerima laporan tersebut, sebagian orang tua korban belum mengetahui masalah yang menimpa anaknya.

Kemudian, P2TP2A berinisiatif memanggil para orang tua korban dan diberitahu perihal masalah yang menimpa anak mereka di pesantren oleh tim psikolog.

"Semua orang tua syok begitu mengetahui permasalahan yang menimpa anaknya. Setelah diberi pemahaman dan pendampingan, akhirnya para orang tua bisa menerima permasalahan tersebut," ucapnya.

Menurut dia, saat ini para korban sudah kembali ke masyarakat dan tinggal bersama orang tua mereka.

Kendati demikian, pihak P2TP2A tetap melakukan pendampingan.

"Selain pendampingan menghadapi persidangan, P2TP2A juga melakukan pendampingan kesehatan, mengingat, ada korban yang masih menunggu proses melahirkan setelah sebelumnya, satu orang korban juga telah melahirkan dengan fasilitas P2TP2A Garut. Korban yang masih usia sekolah dan bisa kembali bersekolah, bahkan ada yang ingin melanjutkan kuliah," katanya. (*)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved