Korupsi Dalam Kondisi Tak Darurat, Kenapa Heru Hidayat Dituntut Hukuman Mati oleh Jaksa Kejagung
Tuntutan hukuman mati untuk Heru Hidayat selaku Presiden Direktur PT Tram, terdakwa korupsi Asabri dinilai janggal.
TRIBUNJABAR.ID- Tuntutan hukuman mati untuk Heru Hidayat selaku Presiden Direktur PT Tram, terdakwa korupsi Asabri dinilai janggal.
Heru Hidayat dituntut jaksa penuntut umum Kejagung dengan tuntutan hukuman mati di sidang yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (6/12/2021).
"Menyatakan terdakwa Heru terbukti secara sah bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama sebagaimana dalam dakwaan primer pasal Pasal 2 ayat 1 Jo Pasal 18 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang perubahaan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana," kata jaksa dalam persidangan, Senin (6/12/2021).
Baca juga: SIAPA Heru Hidayat Bos PT TRAM yang Dituntut Hukuman Mati, Punya Kapal Tanker Terbesar di Indonesia
Penjatuhan tuntutan ini juga dilayangkan jaksa mengingat Heru juga merupakan terpidana pada kasus korupsi di PT Jiwasraya yang telah merugikan negara Rp 16 Triliun, di mana dia divonis hukuman seumur hidup.
Pakar hukum pidana korupsi yang juga guru besar Universitas Airlangga, Nur Basuki Minarno menilai, ada dua alasan tuntutan hukuman mati itu tidak tepat dilayangkan pada Heru Hidayat.
“Yang pertama alasananya karena Pasal 2 ayat (2) UU Korupsi (UU Tipikor) tidak masuk di dalam surat dakwaan (dari JPU),” kata Nur kepada wartawan, Selasa (7/12/2021).
Dalam kasus ini, jaksa mendakwa Heru Hidayat dengan pasal 2 ayat 1 saja, tidak mencantumkan Pasal 2 ayat 2. Pasal 2 ayat 2 mensyaratkan adanya keadaan darurat atau keadaan tertentu saat korupsi dilakukan.
Baca juga: Tiga Cerita Wanita Tangguh Selamat Setelah Dikepung Lahar Letusan Gunung Semeru, 34 Orang Meninggal
Pasal 2 ayat 1
"Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)."
Pasal 2 ayat (2) menyebutkan,
"Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan."
Baca juga: TRAGIS, Aldinus Tersedak Bakso Lalu Meninggal, Sempat Loncat-loncat Agar Bakso Masuk Perut
“Apakah Pasal 2 ayat (2) itu harus dicantum di dalam surat dakwaan? Menurut pendapat saya, Pasal 2 ayat (2) harus dicatumkan dalam surat dakwaan, baru bisa jaksa itu menuntut pidana mati. Karena di dalam Pasal 2 ayat (2), nanti JPU itu harus membuktikan bahwa korupsi dilakukan dalam keadaan tertentu. Di dalam penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor, keadaan tertentu itu adalah keadaan di mana terjadi bencana alam, di mana terjadi krisis ekonomi atau melakukan pengulangan tindak pidana,” kata dia.
Kemudian, kata dia, alasan kedua, kasus korupsi yang menjerat Heru Hudayat dalam kasus korupsi Asabri tidak masuk pada pengulangan tindak pidana.
Pasalnya, tindak pidana yang dilakukan Heru Hidayat dalam kasus Jiwasraya hampir bersamaan dengan tindak pidana dalam kasus Asabri.
Menurut Nur, yang berbeda dari keduanya hanya waktu penuntutan di mana kasus Jiwasraya lebih dahulu diproses dari kasus Asabri.