Kisah Deretan Makam Tanpa Nisan Terpanjang di Cadas Pangeran, Saksi Bisu Kekejaman Daendels

Hingga kini, peristiwa itu dikenang sebagai sebuah keberanian dan kepedulian Bupati kepada rakyatnya yang dipaksa membelah bukit dengan peralatan sang

Editor: Ravianto
seli andina miranti/tribun jabar
Patung dua orang bersalaman itu adalah patung Bupati Sumedang Koesoemadinata IX atau Pangeran Kornel dan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Herman Willem Daendels.  

TRIBUNJABAR.ID, SUMEDANG - Debu kemarau yang tersapu angin menempeli patung berwarna perunggu di Jalan Cadas Pangeran.

Patung dua orang bersalaman itu adalah patung Bupati Sumedang Koesoemadinata IX atau Pangeran Kornel dan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Herman Willem Daendels

Patung itu merekam peristiwa yang berkesan mendalam bagi rakyat Sumedang ketika Daendels yang bengis memaksakan pembangunan Jalan Raya Pos atau De Grote Postweg pada 1808.

Hingga kini, peristiwa itu dikenang sebagai sebuah keberanian dan kepedulian Bupati kepada rakyatnya yang dipaksa membelah bukit dengan peralatan sangat sederhana.

Kondisi Cadas Pangeran Sumedang
Kondisi Cadas Pangeran Sumedang ()

Lantas, seberapa pedih penderitaan rakyat sampai Bupati berani pasang badan menantang Daendels, bahkan menyambut jabatan tangannya dengan tangan kiri sementara tangan kanan Pangeran Kornel bersiap mencabut keris Nagasasra yang terselip di pinggang?

Pembangunan Jalan Raya Pos di Cadas Pangeran ini adalah yang paling banyak menelan korban. 

Dalam laporan Inggris beberapa saat setelah pembangunan jalan selesai, seperti dikutip Pramoedya Ananta Toer, telah tewas dalam 1.000 kilometer sejak Anyer hingga Panarukan sebanyak 12.000 orang rakyat.

Khusus terkait Cadas Pangeran, Pramoedya Ananta Toer di dalam "Jalan Raya Pos, Jalan Daendels" (2010), menulis:

"Dalam pembikinan jalan inilah untuk pertama kali ada angka jumlah korban yang jatuh 5.000 orang. Bahwa angka yang diberikan begitu bulatnya telah menunjukkan tidak rincinya laporan."

Jumlah 5.000 jiwa dalam bagian kecil dari pembangunan jalan sepanjang 1.000 kilometer, tentu adalah jumlah kurban yang besar.

Pram menyebut peristiwa berdarah ini sebagai genosida tidak langsung. 

Kondisi arus lalu lintas di Cadas Pangeran, Jumat (31/5/2019).
Kondisi arus lalu lintas di Cadas Pangeran, Jumat (31/5/2019). (Tribun Jabar/Hakim Baihaqi)

"Besarnya jumlah pribumi yang tewas tak membuat Daendels berhenti di tengah jalan. Dengan demikian kurban-kurban yang lebih banyak lagi berjatuhan sebenarnya sama saja dengan genosida, pembunuhan besar-besaran," tulis Pramoedya lagi.

Dari mana semua ini bermula?

Belanda mengalami kekalahan telak di dalam Perang Jawa 1825-1830 melawan Pribumi yang dipimpin Pangeran Diponegoro. 

Kalah perang berarti pula kemampuan finansial Belanda di Hindia ambruk.

Belanda di bawah Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch memerintahkan cultuurstelsel atau tanam paksa. Rakyat dipaksa menanam kopi yang hasilnya dipakai untuk memperkuat para penjajahnya dan penjajahan itu sendiri.

Rakyat banyak yang mati karena kelaparan dan kerja tak kenal lelah.

Warga Pamulihan membersihkan patung Pangeran Kornel di Cadas Pangeran
Warga Pamulihan membersihkan patung Pangeran Kornel di Cadas Pangeran (Istimewa)

Mereka sendiri tak sempat mengolah sawah dan ladang sendiri. Kelaparan juga menewaskan anggota keluarga mereka.

"Sampai-sampai orang tak sempat menguburkan para kurban," tulis Pramoedya. 

Untuk memperkokoh penghisapan terhadap rakyat Hindia Belanda, Raja Belanda Louis Bonaparte mengirim Daendels yang tiba di Pelabuhan Anyer pada awal tahun 1808. 

Dalam sebuah perjalanan dari Batavia ke Semarang yang ditempuh dalam sepuluh hari, Daendels berpikiran untuk melakukan peninggian dan pelebaran jalan. 

Namun, dengan modal sedikit, tak mungkin rencana itu sukses kecuali jika pembangunan dibebankan kepada para bupati di daerah yang terlintasi jalan ini.

Dibuatlah jalan dengan partisi sebagai berikut: 

Anyer-Batavia, Batavia-Buitenzorg, Buitenzorg-Karangsembung (dengan detail: Cisarua-Cianjur, Cianjur-Rajamandala, Rajamandala-Bandung, Bandung-Parakanmuncang,  Parakanmuncang-Sumedang, Sumedang-Karangsembung), Karangsembung-Semarang hingga ke Rembang dan berakhir di Panarukan.

Khusus pembangunan Jalan Cianjur hingga Sumedang, ada jatah beras untuk pekerja, yakni sebanyak 1,25 pon beras per hari dan 5 pon garam per bulan.

Kerasnya medan kerja, kerasnya perlakuan penjajah, membuat banyak rakyat berguguran.

Belum ditemukan data pasti apakah para pekerja yang tewas itu dimakamkan di sepanjang Jalan di atas tebing Cadas Pangeran

Namun, jika merunut penjelasan Pramoedya tentang orang-orang yang tak sempat menguburkan orang meninggal, boleh dibayangkan di sepanjang Jalan Cadas Pangeran, pernah bergelimpangan mayat.

Kini, Jalan Cadas Pangeran sudah semakin ramai. Warung-warung berjejer di sekitar patung Pangeran Kornel dan Daendels. Di jalan asli yang menanjak melintas ke Pamucatan, ada juga warung-warung penjaja penganan ubi Cilembu. 

Pengendara dapat berhenti di sembarang warung. Menikmati ubi hangat baru keluar dari oven, sambil menikmati sejuk udara di sekitar kuburan tanpa nisan terpadat dan terpanjang di Sumedang, bahkan mungkin di Pulau Jawa. 

Endang Sonali (66), warga Cadas Pangeran mengenal kisah kekejaman Daendels dalam pembangunan Jalan Raya Pos di silam masa. 

Dia mendapatkan kisah-kisah itu secara lisan dari Uyut Halsani, leluhurnya.

Buyutnya itu adalah anak dari Uyut Aca, seseorang yang diakui Endang punya hubungan dengan Pangeran Kornel.

"Uyut Aca itu adalah tangan kanan Pangeran Kornel, dulu istilahnya gulang-gulang. Dia saksi mata peristiwa yang kejam itu," kata Endang saat ditemui TribunJabar.id, di Kawasan Cadas Pangeran, Senin (4/10/2021) petang. 

Menurut kisah yang diterima Endang, betul bahwa korban-korban kerjapaksa di dalam proyek itu banyak yang tidak terkubur.

Namun, kata dia, ada juga yang sempat dikuburkan.

"Sampai sekarang yang diketahui saja ada banyak makam di sepanjang jalan asli yang ke atas. Mungkin banyak kuburan tak terawat dan tak diketahui asal-usulnya," kata Endang seraya mengatakan Cadas Pangeran bisa dikatakan angker.

Bukan hal yang baru lagi jika di daerah tersebut Endang menemukan hal-hal di luar nalar.

Misalnya, mendengar suara kereta kencana, kedatangan harimau, melihat sosok bukan manusia, suara gamelan, dan lain sebagainya.

Pengalaman bersentuhan dengan hal gaib, dirasakan juga oleh Ai Komalasari (40), pedagang di kawasan Cadas Pangeran.

"Pernah suatau malam terdengar ada suara kereta kencana. Bahkan sekitar empat tahun yang lalu,  penumpang seisi angkutan umum kesurupan," katanya.(kiki andriana/tribun jabar)

Sumber: Tribun Jabar
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved